Rabu (29/1), Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan tidak mengabulkan permohonan yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) atas perkara No.75/2019 tentang syarat sebagai pemilih yang diatur dalam Pasal 1 angka (6) Undang-Undang (UU) No.8/2015. Pasal tersebut berbunyi “Pemilih adalah penduduk yang berusia paling rendah 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin yang terdaftar dalam Pemilihan”. Perludem meminta agar MK menghapus frasa “sudah/pernah kawin” dengan pandangan syarat tersebut mendiskriminasi warga negara yang sudah atau pernah kawin, dan memaklumi perkawinan anak.
Dalam pertimbangan putusannya, MK menyatakan bahwa syarat sudah atau pernah kawin untuk menjadi pemilih bukanlah bentuk diskriminasi. Kawin, juga kemampuan bekerja, dianggap MK menandai tingkat kedewasaan seseorang untuk mengambil tindakan hukum. Pertimbangan MK didasarkan atas UU Administrasi Kependudukan, bahwa kepemilikan kartu identitas kependudukan tidak hanya ditentukan oleh minimal usia 17 tahun, tetapi juga sudah atau pernah kawin.
Putusan tersebut dikritik oleh Perludem. Menurut Peneliti Perludem, Fadli Ramadhanil, putusan MK bergerak mundur ke belakang dan tidak memiliki perspektif mencegah diskriminasi terhadap status perkawinan, pencegahan kawin anak, dan pekerja anak. Parameter yang diambil MK dalam menilai kedewasaan pun dinilai sempit.
“Kami menghormati putusan MK. Namun, dalam konteks hari ini, pandangan ini tentu tidak lagi sepenuhnya tepat atau bisa dibilang sudah tidak relevan. MK berfokus pada parameter dewasa secara sederhana dan sempit yaitu “sudah kawin”, padahal paradigma itulah yang harusnya diubah. MK seolah memberi angin segar pada insentif yang bisa diperoleh bagi anak-anak yang kawin usia dini, berupa hak pilih,” jelas Fadli kepada rumahpemilu.org (29/1).
Lebih lanjut, Fadli menjelaskan bahwa putusan MK tidak sejalan dengan aturan mengenai usia yang diperbolehkan untuk kawin bagi perempuan, yaitu 19 tahun. Dengan diberikannya hak pilih pada anak berusia kurang dari 19 tahun, maka MK telah memberikan dispensasi sebanyak dua kali.
“Kalau kawin sebelum 17 tahun, maka bisa memilih. Padahal, kawin sebelum umur 19 tahun saja, itu merupakan dispensasi karena kondisi yang benar-benar terpaksa. Tapi ternyata dalam pandangan MK, terpaksa itu justru layak diberi kompensasi berupa hak pilih,” katanya.
Usai ditolak, Perludem dan KPI menyatakan akan menempuh langkah advokasi kepada pembentuk undang-undang, yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), untuk memasukkan perubahan mengenai syarat menjadi pemilih di revisi UU Pemilu No.7/2017. Syarat pemilih, menurut Fadli, semestinya tunggal, yakni berusia 17 tahun.
“Berikutnya kami akan dorong pembuat undang-undang agar dalam Revisi UU Pemilu yang menjadi prioritas legislasi tahun 2020, aturan ini bisa diakomodir sehingga revisi UU Pemilu mengatur standar tunggal untuk menjadi pemilih di pemilu maupun pilkada, yaitu berusia 17 tahun pada saat pemungutan suara,” tutupnya.