August 8, 2024

Perludem, Penyelenggara Pemilu Beranggota Perwakilan Partai Politik Ahistoris dan Inkonstitusional

 

Panitia khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu hendak memasukkan pengaturan diperbolehkannya anggota partai politik menjadi penyelenggara pemilu, yakni anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU). Bahkan, bergulir isu bahwa penyelenggara pemilu dapat seluruhnya diisi oleh perwakilan partai politik peserta Pemilu 2019. Alasannya, desain penyelenggara pemilu berisi anggota partai politik pernah dilakukan pada Pemilu 1999.

Ide tersebut dinilai oleh Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, sebagai hal keliru yang tidak hanya dapat merusak prinsip kemandirian KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu, tetapi juga inkonstitusional. Dalam risalah amandemen UU Dasar (UUD) 1945 tahun 2001 disebutkan bahwa munculnya kata mandiri sebagai salah satu sifat lembaga penyelenggara pemilu dalam Pasal 22E ayat (5) dalam UUD 1945 dimaksudkan untuk menjamin kebebasan KPU dari keanggotaan yang berasal dari partai politik.

“Risalah UUD 1945 perlu diperhatikan. Pansus RUU Pemilu mesti membuka dan membaca kembali. Ini adalah ide yang keliru dan merusak,” kata Fadli kepada Rumah Pemilu (22/3).

Selanjutnya, Fadli menjelaskan bahwa alasan Pansus RUU Pemilu yang mendasarkan ide keanggotaan partai politik pada penyelenggara pemilu pada pengalaman Pemilu 1999 bersifat ahistoris dan tak patut ditiru. Pasalnya, penyelenggara pemilu 1999 yang terdiri dari perwakilan partai politik peserta pemilu dan perwakilan Pemerintah justru menimbulkan banyak persoalan dalam teknis penyelenggaraan pemilu yang disebabkan oleh berbedanya kepentingan dalam penyelenggaraan pemilu.

KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu memiliki kepentingan untuk menyelenggarakan pemilu yang adil dan demokratis dan memfasilitasi warga negara untuk dapat memilih perwakilan rakyat secara bebas dan rahasia. Sementara itu, partai politik peserta pemilu memiliki kepentingan untuk memenangkan pemilihan.

“Anggota KPU yang berasal dari perwakilan partai politik tidak akan bekerja untuk menyelenggarakan pemilu yang adil dan demokratis, tetapi justru akan sibuk mencari cara bagaimana agar partai politik mereka bisa menang dalam pemilu,” tukas Fadli.

Fadli menyebutkan bahwa dalam sejarah penyelenggaran Pemilu 1999, anggota KPU seringkali menyelenggarakan rapat penentuan kebijakan secara quorum dan tak menghasilkan suatu kemajuan karena deadlock. Masing-masing anggota tak mau menyetujui kebijakan atau pengaturan yang dinilai merugikan partai politik masing-masing. Kekeliruan dalam sejarah ini, kata Fadli, tak boleh terulang pada Pemilu Serentak 2019.

“Bisa dibayangkan kalau kekeliruan sejarah diulang. Anggota KPU bisa saling gontok-gontokan. Inilah mengapa anggota KPU mesti bersih dan tidak punya kepentingan politik. Penyelenggara pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri adalah salah satu mandat besar reformasi,” tegas Fadli.

Fadli menegaskan bahwa Pansus RUU Pemilu mesti memperhatikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.81/PUU-/IX/2011 yang menyatakan bahwa syarat untuk menjadi calon anggota KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) adalah mundur dari keanggotaan atau kepengurusan partai politik minimal lima tahun sebelum pendaftaran. Putusan MK bersifat final dan mengikat. Oleh karena itu, ide memperbolehkan partai politik untuk turut serta menjadi penyelenggara pemilu adalah bentuk pembangkangan terhadap putusan pengadilan.

“Pansus RUU Pemilu mestinya sadar, disisa waktu yang sangat singkat ini, fokus utama mereka sebaiknya adalah menuntaskan desain Pemilu Serentak 2019. Pedoman utama dalam menyusun UU adalah konstitusi dan Putusan MK. Pansus RUU Pemilu tidak boleh keluar dari pakem itu,” tutup Fadli.