August 8, 2024

Perludem Rekomendasikan Konvensi PBB 1989 Digunakan untuk Mendorong Partisipasi Anak dalam Politik

Kasus pelibatan anak dalam proses demokrasi di Indonesia belum bisa ditindaklanjuti penyelenggara kepemiluan karena alasan pendidikan politik yang belum diberikan secara menyeluruh. Untuk itu, hasil konvensi anak Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) tahun 1989 dianjurkan kembali digunakan dalam berbagai aspek.

Banyaknya kasus pelaporan ibu atau orangtua membawa anak dalam kampanye politik juga dinilai bisa saja tidak memenuhi unsur hukum jika dibenturkan dengan ekonomi. Terlebih, ada dampak positif membawa anak ke dalam kampanye politik akan terjadi dengan timbulnya sosialisasi kepemiluan terhadap anak sejak dini.

Peneliti Perkumpulan untuk Demokrasi (Perludem) Usep Hasan Sadikin mengatakan, bisa jadi tidak memenuhi unsur penyalahgunaan kegiatan politik di dalam Undang Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak atau ketentuan di dalam UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

“Dimana dilarang melibatkan warga yang belum punya hak pilih gitu karena lebih seringnya itu dikembalikan kepada situasi si orangtua. Gini nih kalau misalnya saat membawa anak di dalam kegiatan politik bisa saja dia antusias dalam kegiatan tersebut sehingga ingin melibatkan anaknya,” terangnya kepada Kantor Berita RMOLJabar, Sabtu (8/7).

Termasuk masalah ekonomi, Usep mencontohkan seperti pekerja rumah tangga yang tidak bisa menitipkan anaknya ke tetangga atau kakek neneknya. Hal tersebut juga bisa menjadi penyebab terlibatnya anak dalam kampanye atau sosialisasi politik. Ia pun menyayangkan, jika pembahasan hanya pada persoalan itu saja.

“Bisa juga dianggap sebagai hal yang positif sehingga anak menurut orang tua yang bersangkutan itu enggak apa apa dibawa ke kegiatan politik karena bisa jadi ini pendidikan politik sejak dini gitu. Saya malah menyayangkan ya, kalau pembahasannya sesempit itu, ya pembahasan tentang pelibatan anak di dalam kegiatan politik,” jelasnya

Kembali ke Hasil Konvensi Anak PBB 1989

Menurut Usep, semua pihak sangat penting merujuk kepada hak anak dalam konvensi anak yang mana di dalamnya ada hak partisipasi, bagaimana anak dijamin dan bisa berpartisipasi menyampaikan pendapat di dalam kehidupan berbangsa bernegara dan bermasyarakat gitu.

“Nah ini kan bisa diperluas gitu misalnya Apakah anak dalam penyelenggaraan pendidikan negara gitu ya di tingkat SD SMP sampai SMA hingga mereka dapat hak pilih gitu ya di usia 17 tahun itu sudah mendapatkan pendidikan kewarganegaraan yang bagus gitu untuk bisa berpartisipasi atau menyampaikan pendapat dalam bentuk bentuk demokrasi,” ungkapnya.

Bentuk demokrasi di sekup sekolah, kata Usep, bagaimana anak bisa memilih ketua kelas atau bahkan mencalonkan diri menjadi kontestannya. Bagaimana terlibat aktif dalam kegiatan Organisasi Siswa, tambah ia, anak bisa mengkritik gurunya saat mendapatkan informasi atau Pendidikan yang tidak bagus atau berani bertanya terhadap proses pendidikan yang ada di dalam kelas maupun di luar kelas.

“Pembahasan hak anak di dalam Pemilu itu terhubung, baik itu di dalam Pemilu maupun di luar Pemilu, dalam pendidikan politik di sekolah maupun di luar sekolah ataupun di keluarga. Gitu harusnya dikembangkan ke sana. Karena tadi ya kita balik lagi, konversi anak menjamin hak anak dalam berpartisipasi,” tegasnya.

Soal irisan usia, tutur Usep, juga menjadi acuan, apakah hak anak tersebut bisa terhubung dengan penyelenggara Pemilu. Misalnya, tambah ia, apakah Partai politik atau calon itu memasukan hak mereka pada visi misi atau program.

“Kampanyenya itu mencantumkan hak anak gitu. Nah itu kan berkaitan sama keberpihakan atau perhatiannya terhadap warga negara di dalamnya. Dalam hal ini adalah anak sebagai warga negara untuk kemudian dijamin kehidupannya lebih baik dalam penyelenggaraan bernegara,” tukasnya.

SYAMSUL ARIFIN

Artikel ini telah dipublikasi oleh rmoljabar.id pada 8 Juli 2023, dengan dukungan Program RESPECT yang diampu oleh Perludem.