Indonesia Legal Roundtable (ILR) mempublikasi hasil riset mengenai penegakan hukum pidana pemilu pada Pemilu 2019. Salah satu temuannya yakni, bahwa dari 348 kasus pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum inkracht, hanya 13 kasus yang terkait Pemilihan Presiden (Pilpres). Sisanya, 335 kasus terkait dengan Pemilihan Legislatif (Pileg). Jumlah kasus pidana pemilu tersebut meningkat dari 2014 dengan 203 kasus Pilpres dan Pileg. (Baca selengkapnya melalui tautan http://rumahpemilu.org/348-pelanggaran-pidana-di-pemilu-2019-kebanyakan-diganjar-sanksi-ringan/)
Menanggapi hasil riset ILR, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini memberikan lima rekomendasi untuk perbaikan penegakan hukum pidana pemilu. Satu, tak mempidanakan semua pelanggaran, melainkan mengedepankan pendekatan administratif. Titi menyinggung banyaknya pasal pidana untuk penyelenggara pemilu, yang pada praktiknya, penegakan hukum tidak dijalankan terhadap pelaku pelanggaran.
“Tidak kasih C1 misalnya, penyelenggara dipidana. Tapi realitanya tidak diproses. Jadi, pidana itu harusnya jadi pendekatan akhir. Tindak pidana harus merupakan kejahatan untuk memilih dan dipilih. Kalau masih bisa pakai pendekatan administrasi, harus kita kedepankan,” tandas Titi pada diskusi “Penegakan Hukum Pidana Pemilu, Dinamika dan Masalahnya” di kantor ILR, Pancoran, Jakarta Selatan (7/10).
Dalam hal politik uang, Titi menyarankan agar ada rekonstruksi mekanisme penegakan hukum oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Semestinya Bawaslu dapat memberikan sanksi administrasi terhadap pelaku politik uang berupa diskualifikasi, jika kasus tersebut memenuhi salah satu unsur terstruktur, sistematis, atau masif (TSM).
“TSM itu harusnya tidak mesti kumulatif. Satu saja, Bawalslu menemukan insur T, atau S, atau M, dan bisa dibuktikan, maka mestinya Bawaslu bisa menggunakan sanksi administrasi itu,” ujar Titi.
Rekomendasi kedua, yaitu memperkuat wewenang Bawaslu. Jika mekanisme Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) lebih banyak membuat pelanggaran pidana tak dapat diproses, gagasan untuk memberikan kewenangan menyelesaikan kasus tindak pidana pemilu hanya kepada Bawaslu perlu dipertimbangkan. Bawaslu merupakan lembaga penyelenggara pemilu yang wajib bersifat mandiri. Jika Gakkumdu mengurangi kemandirian Bawaslu, mekanisme Gakkumdu dinilai lebih baik dibubarkan.
“Dia (Gakkumdu) tidak boleh mendegaradasi karakter Bawaslu yang mandiri tadi. Ke depan, Sentra Gakkumdu jadi forum diskusi saja, tidak jadi forum yang memutus lanjut atau tidak lanjut suatu perkara. Koordinasi kan tidak mesti satu forum,” kata Titi.
Selanjutnya, memperpanjang waktu daluwarsa menjadi dorongan. Waktu daluwarsa dapat mengikuti aturan di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yakni minimal dua tahun. Keadilan untuk kepentingan publik, menurut Titi, sebaiknya tak dilimitasi.
Rekomendasi keempat, dimuatnya frasa “turut serta” dalam Pasal 285. Tanpa adanya frasa “turut serta”, politik uang yang melibatkan orang lain diluar kandidat dan Tim sukses tak dapat dijerat.
Perludem juga merekomendasikan agar ada transparansi proses penyelesaian perkara tindak pidana pemilu di Bawaslu dan pengadilan. Tujuannya, agar publik mengetahui permohonan-permohonan yang diregistrasi, proses persidangan, dan vonis yang dijatuhkan.
“Agar publik tidak hanya tahu ada vonisnya saja. Jadi, fungsi fasilitasi MA (Mahkamah Agung) dan Bawaslu untuk menjamin keterbukana proses sangat diperlukan,” tutup Titi.