Mahasiswa Program Master Global Policy School of Advanced International Studies Johns Hopkins didampingi Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menemui Arief Budiman, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI untuk mendiskusikan tantangan partisipasi dan keterwakilan perempuan di Pemilu Indonesia. Pada diskusi tersebut, KPU memaparkan upaya dan tantangan KPU dalam mendorong partai untuk memenuhi syarat keterwakilan perempuan di kepengurusan serta afirmasi 30 persen perempuan pada daftar calon.
Saat menyusun regulasi teknis PKPU untuk Pemilu 2014, KPU mewajibkan partai untuk menyertakan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan pada kepengurusan tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Ketentuan tersebut terdapat pada Pasal 4 PKPU 8/2012 tentang Pendaftaran, Verifikasi, dan Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu. Untuk Pemilu 2019, KPU mempertahankan ketentuan tersebut. Namun, DPR tak menyetujui draft itu. PKPU 11/2017 menyebut partai menyertakan paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai tingkat pusat, dan memperhatikan 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
“Ada ketentuan kewajiban konsultasi dalam forum rapat dengar pendapat yang hasilnya mengikat,” kata Arief Budiman, di ruangannya di kantor KPU, Jakarta Pusat (15/10).
Soal afirmasi 30 persen perempuan dalam daftar calon, Ava Yuen, salah satu mahasiswa Johns Hopkins mempertanyakan otoritas legal KPU untuk turut terlibat mendorong penempatan perempuan dalam daftar calon. Ia menanyakan apakah KPU bisa mengacak nomor urut atau memaksa partai untuk memprioritaskan perempuan pada nomor urut besar yang cenderung lebih berpotensi terpilih.
Menjawab hal tersebut, Arief menegaskan bahwa hal tersebut menjadi salah satu isu yang sering didorong untuk meningkatkan potensi keterpilihan perempuan. Namun, KPU tetap mesti berpegang pada undang-undang dalam merumuskan metode pencalonan, khususnya afirmasi perempuan ini. Undang-undang telah mengunci melalui rumusan, di dalam daftar bakal calon, setiap tiga orang bakal calon terdapat paling sedikit satu orang perempuan bakal calon.
“Otoritas legal KPU tidak bisa melampaui undang-undang,” tandas Arief Budiman.