Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No.2/2020 tak menjawab semua kebutuhan pilkada di tengah wabah Corona. Kewenangan paripurna Presiden dalam hal ihwal kegentingan memaksa ini hanya menjawab dasar hukum penundaan pemungutan suara saja, dari September ke Desember 2020 atau setelahnya saat wabah Corona berakhir. Padahal banyak hal yang seharusnya dijawab Perpu, salah satunya kepastian anggaran pilkada.
“Kesan yang muncul di dalam Perpu ini, terutama ketentuan di dalam Pasal 201A ayat (3), tahapan pilkada seolah hanya mencakup persoalan pemungutan suara saja,” kata Manajer Program Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil dalam siaran pers (6/5).
Padahal, kebutuhan pilkada di tengah wabah Corona lebih dari sebatas kepastian hukum penundaan pemunguatan suara saja. Salah satu yang penting dan genting namun luput dijangkau Perpu adalah soal anggaran pilkada.
Perekonomian Indonesia termasuk daerah-daerah penyelenggara pilkada sedang tidak normal di tengah wabah corona. Butuh penegasan dan pengaturan mekanisme pengelolaan dana untuk biaya pilkada yang sudah dianggarkan sebelumnya. Seharusnya Perpu mampu menjawab sumber uang dari mana untuk menutupi kekurangan pilkada.
Pemerintah terlalu memaksakan diri untuk menjadwalkan pemungutan suara Pilkada 2020 pada Desember 2020. Jika pemungutan suara dilaksanakan Desember 2020, tahapan Pilkada 2020 yang saat ini ditunda, mesti dimulai kembali selambat-lambatnya pada bulan Juni 2020.
Sebelum tahapan dimulai kembali, tentu di dalam bulan Mei ini, KPU dan Bawaslu, serta pemangku kepentingan pemilu lainnya sudah mesti bersiap kembali untuk melanjutkan tahapan pilkada. Kita tahu semua, hampir semua tahapan pilkada, merupakan kegiatan yang mengundang interaksi banyak orang, serta kegiatan yang dilaksanakan di luar rumah.
“Semua aktivitas itu pastinya bertentangan dengan upaya menekan angka penyebaran Covid-19,” tegas Fadli. []