Tidak lama setelah timbul masalah terkait banyaknya petugas pemilu yang meninggal dan kesalahan input dalam aplikasi Situng KPU, menguat kembali dorongan penerapan pemilu elektronik di Indonesia.
Dorongan itu, di antaranya, berasal dari Ketua DPR, Menteri Dalam Negeri, dan masyarakat. Konsep pemilu elektronik yang dimaksud cukup beragam dari mulai e-voting, e-counting, sampai e-recap.
Pemilu elektronik dapat dikategorikan sebagai salah satu bagian dari teknologi dalam pemerintahan (e-government). Dalam studi e-government, terdapat dua kubu scholars, yaitu kubu pesimis dan optimis. Shaun Goldfinch (2007), salah seorang dari kubu pesimis, berpendapat bahwa adopsi teknologi banyak gagal. Oleh karena itu, penting untuk bersikap pesimistis agar tidak lagi mengulang kegagalan yang sama.
Alvarez and Hall (2010) mewakili kubu optimis meyakini bahwa adopsi teknologi (khususnya dalam pemilu) memiliki banyak keuntungan karena dapat menekan risiko kesalahan dan kecurangan. Artikel ini ingin menjawab pertanyaan, bagaimana sebaiknya menyikapi wacana pemilu elektronik di Indonesia?
Penulis berpendapat, di tengah-tengah pesimisme dan optimisme akan pemilu elektronik di Indonesia, perlu ada jalan tengah dan peta jalan untuk pemilu elektronik di Indonesia agar pemilu elektronik berhasil menjadi solusi masalah dalam pemilu manual.
Jalan tengah
Pemilu manual selama ini dianggap ”paling aman” dan dianggap ”lebih demokratis” karena salah satunya dengan cara manual pemilih dapat melihat langsung ketika dilakukan penghitungan.
Padahal, dalam pemilu manual melekat banyak masalah. Pertama, ketika warga memilih tidak sesuai ketentuan, dikategorikan sebagai suara tidak sah (invalid votes) dan akibatnya pasti ada suara terbuang (wasted votes).
Kedua, dalam konteks penghitungan dan rekap dengan jumlah kursi yang dipilih amat banyak (seperti Pemilu 2019) akan sangat memakan waktu dan tenaga. Kasus meninggalnya petugas pemilu tahun ini bisa jadi berkaitan dengan kelemahan pemilu manual.
Imbas lain dari hitungan manual yang diinput dalam Situng adalah memakan waktu yang lama dan menimbulkan gonjang-ganjingdi masyarakat. Ketiga, proses rekap yang berjenjang juga membuka ruang potensi terjadinya kesalahan dan atau kecurangan. Koalisi Masyarakat Sipil menemukan 708 kesalahan pada proses rekapitulasi suara Pemilu 2019 (Kompas.com,25/9/2019).
Bagaimana sebaiknya menyikapi hal ini? Kubu yang optimistis dengan pemilu elektronik cenderung menyimpulkan agar segera ada pemilu elektronik di Indonesia. Sebaliknya, kubu yang pesimistis akan berdalih bahwa masalah yang timbul bukan karena pemilu manual.
Penulis berargumen bahwa perlu adanya jalan tengah yang dapat diambil oleh para pembuat kebijakan. Jalan tengah yang dimaksud adalah menimbang serius pemilu elektronik dengan menyusun peta jalan menuju pemilu elektronik.
Mengapa perlu peta jalan? Pemilu elektronik semakin lama semakin sulit dielakkan. Namun, perlu ada sikap hati-hati agar masalah yang terjadi di negara-negara yang memutuskan berhenti atau tidak lanjut dengan pemilu elektronik setelah melakukan uji cobaatau proyek percontohan tidak terjadi di Indonesia.
Peta jalan
Bagaimana sebaiknya peta jalan pemilu elektronik di Indonesia? Penulis mencoba merumuskan peta jalan untuk Indonesia merujuk pada Handbook yang diterbitkan oleh Council of Europe Publishing (2010) disertai sejumlah penyesuaian. Langkah pertama adalah menginventarisasi kondisi terkini Indonesia (masyarakat, infrastruktur, dan politik dalam hal dukungan serta kepercayaan terhadap pemilu elektronik).
Setelah itu, langkah kedua dapat berupa penentuan dalam tahap mana saja pemilu elektronik dilakukan (memilih, atau menghitung, atau merekap, atau gabungan ketiganya), dan prototipeseperti apa yang akan digunakan (internetatau mesin dalam kasus e-voting).
Langkah ketiga adalah membuat keputusan politik yang bersifat umum, termasuk di mana saja e-voting akan dilaksanakan, anggaran dari mana, dan periode pelaksanaan.
Langkah keempat adalah perencanaan dan pelaksanaan (sifatnya lebih teknis), mencakup pengadaan barang, pelatihan, dan pelaksanaan proyek percontohan. Langkah kelima, yaitu evaluasi dan audit hasil pelaksanaan proyek percontohan. Langkah keenam adalah pelaksanaan pemilu elektronik dengan skala yang lebih luas dari proyek percontohan.
Selain disusun secara normatif, peta jalan di atas juga harus mempertimbangkan masalah dalam kasus-kasus pemilu elektronik di negara lain.
Dari kasus Norwegia dan Irlandia, pelajaran yang dapat diambil adalah pentingnya membangun dan mempertahankan trust dan confidence dari publik, ahli, dan politisi terhadap pemilu elektronik. Dari kasus Belanda dan Irlandia, aspek yang penting diperhatikan adalah persoalan teknis terkait dengan pilihan prototipe dan aksesibilitas pemilih.
Sebagai penutup, wacana dan keinginan adanya pemilu elektronik di Indonesia perlu disikapi dengan jalan tengah serta peta jalan pemilu elektronik. Dengan begitu, pemilu Indonesia ke depan akan lebih baik daripada saat ini. Semoga.
Ikhsan Darmawan Mahasiswa Doktoral Ilmu Politik di Kent State University, AS
Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 16 Mei 2019 di halaman 6 dengan judul “Peta Jalan Pemilu Elektronik”. https://kompas.id/baca/opini/2019/05/16/peta-jalan-pemilu-elektronik/