Rabu, 27 Juni 2018 akan jadi tanggal yang menentukan wajah pemerintahan lokal dan nasional. Pilkada 2018 merupakan gelombang ketiga dari tiga gelombang peyelenggaraan pilkada serentak. Dibanding dua gelombang sebelumnya (2015 dan 2017), Pilkada Serentak 2018 merupakan pesta demokrasi lokal terbesar dari segi pemilih. Ada 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten. Ada 152.057.054 pemilih tetap, atau 81,58% dari daftar pemilih sementara Pemilu Nasional 2019, 186.379.878 pemilih.
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengingatkan, pilkada langsung merupakan buah perlawanan di akhir 2014 terhadap dominasi elite pemerintah dan partai politik yang menginginkan pemilihan kepala daerah (kembali) melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Saat itu, pilkada langsung dituduh hanya menghamburkan uang negara dan menghadirkan konflik kekerasan. Padahal, wajah pemerintahan lokal pasca-Reformasi menunjukan perbaikan karena melahirkan kepala daerah berprestasi hasil pilihan rakyat secara langsung. Proses pemungutan suara ini penting, karena adalah bukti dari daulat rakyat dalam menentukan pemimpin di daerahnya.
“Kami mengajak pemilih untuk datang ke TPS untuk menggunakan hak suaranya pada Rabu, 27 Juni 2018. Menggunakan hak memilih di Pilkada 2018 berarti kembali menentukan kepala daerah yang kita harapkan akan berprestasi bagi pemerintahan lokal,” kata Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini (25/6).
Menurut Titi, jika partisipasi memilih rendah, ini akan dijadikan klaim elite politik untuk menilai buruk pilkada langsung. Bukan hal yang tak mungkin, pemilihan kepala daerah melalui DPRD akan diupayakan lagi.
Para elite politik menempatkan Pilkada 2018 sebagai kepentingan setengah pemenangan untuk pemenangan Pemilu 2019. Kemenangan sebagai gubernur dan bupati/walikkota di provinsi dan kabupaten/kota menjadi bentuk kekuasaan sebagai modal meraih sejumlah kursi di Pemilu 2019.
Dari hal itu pemilih penting untuk berpartisipasi dalam Pilkada 2018 karena melalui Pilkada Serentak 2018, pemilih berkepentingan menentukan prospek kepemimpinan nasional. Sudah menjadi pakem, jabatan kepala daerah dari kabupaten/kota atau provinsi menjadi jenjang karir pemimpin eksekutif.
Pilkada langsung hingga Pemilu Presiden seperti menjadi pengkaderan kepemimpinan nasional. Pemilih penting untuk berpartisipasi, untuk bisa menghadirkan dan melahirkan pemimpin daerah yang kedepan bisa menjadi calon pemimpin nasional.
Amat disayangkan, Indonesia yang menerapkan pemerintahan presidensial melalui pemilu presiden langsung beserta pilkada langsung tapi miskin nama calon pemimpin dan masih berkutat pada nama-nama lama. 171 nama pasangan calon kepala daerah-wakil kepala daerah hasil Pilkada 2018 amat mungkin nantinya berprestasi di pemerintahan lokal, lalu dikenal nasional dan diharapkan menjadi presiden/wakil presiden untuk pemerintahan nasional berikutnya.
Bagi warga pada umumnya, menentukan wajah pemerintahan lokal dan nasional di Pilkada 2018 pun bisa dengan bentuk partisipasi lain. Selain memilih, kita bisa memantau untuk lebih menjamin pemilihan kepala daerah berlangsung jujur dan adil (Jurdil). Amat mungkin ada politik uang dan sejumlah pelanggaran iklan atau alat peraga kampanye di jelang dan saat hari H. Jalannya pungut hitung suara juga bisa jadi pintu terakhir kecurangan yang perlu kita antisipasi.
Bagi peserta pemilu, kedewasaan politik untuk menjalani proses dan menerima hasil Pilkada amat penting. Pasangan calon, parpol pengusung, dan tim sukses diharapkan tidak melakukan politik uang, perubahan/manipulasi hasil pemilu, serta pelanggaran lainnya. Jangan lagi ada sikap tak dewasa dari elite politik yang bisa berlanjut pada keterbelahan masyarakat hingga 2019. []
USEP HASAN SADIKIN