Keputusan pemerintah untuk tetap menyelenggarakan pilkada di tengah pandemi Covid-19 menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Para akademisi dan dokter berpendapat, pelaksanaan pilkada sebaiknya ditunda mengingat jumlah kasus Covid-19 di Indonesia masih terus meningkat hingga saat ini.
Sebagai perbandingan, total kasus terkonfirmasi pada Mei 2020 adalah 5.000 kasus per 10 hari, lalu Juni 2020 meningkat menjadi 10.000 kasus per 10 hari. Bulan Juli dan Agustus 2020, total kasus mencapai 15.000-20.000 kasus per 10 hari. Berdasarkan grafik ini, diperkirakan pada September 2020, total kasus terkonfirmasi bertambah 3.000 kasus per hari atau sekitar 30.000 kasus per 10 hari. Kenyataannya, total penambahan kasus pada bulan September melebihi perkiraan, mencapai 4.000 kasus per hari.
Data terakhir menunjukkan angka kematian akibat kasus Covid-19 di Indonesia sebesar 3,9 persen. Angka ini dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan Filipina yang jumlah kasus terkonfirmasinya hampir serupa dengan Indonesia untuk kawasan Asia Tenggara. Angka kematian Indonesia sudah tembus 10.000.
Data terakhir menunjukkan angka kematian akibat kasus Covid-19 di Indonesia sebesar 3,9 persen.
Menilik perjalanan kasus Covid-19 di Indonesia, ketika pembatasan sosial berskala besar (PSBB) diberlakukan, angka positivity rate turun menjadi 5 persen. Namun saat memasuki musim mudik, total kasus terkonfirmasi mencapai 40.000 kasus. Memasuki masa PSBB transisi, peningkatan kasus terkonfirmasi kembali melonjak. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan kasus terjadi pada saat terbentuk kerumunan orang. Apabila situasi ini tak segera diatasi dan pilkada tetap dilaksanakan, bukan hal yang mustahil jika pada Desember 2020, total kasus terkonfirmasi di Indonesia mencapai 500.000 kasus.
Saat ini, angka positivity rate Covid-19 di Indonesia mencapai 15 persen. Artinya, di antara 10 orang, 1 sampai 2 orang terkonfirmasi Covid-19. Melihat peningkatan jumlah kasus masih mungkin terjadi dalam beberapa minggu ke depan, tingginya potensi penularan dan transmisi lokal menjadi hal yang patut diwaspadai. Oleh karena itu, tugas semua pihak untuk menekan kurva pertumbuhan kasus hingga landai, apalagi mengingat gelombang pertama di Indonesia bahkan belum berakhir.
Sifat virus Covid-19 yang mudah menular menjadikan tempat dengan banyak orang berkumpul, seperti pasar, tempat ibadah, kantor, hingga rumah sebagai wadah sumber penularan. Peluang terjadinya penularan semakin besar apabila orang-orang yang berkumpul tersebut tidak menggunakan masker.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menurunkan jumlah kasus terkonfirmasi adalah membatasi aktivitas masyarakat. Hal ini berkaitan erat dengan peran pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Kepala daerah terpilih nantinya diharapkan mampu cepat tanggap dalam merespons kondisi Covid-19 ini.
Keterbatasan ruang rawat, IGD, maupun ICU di berbagai rumah sakit rujukan menjadi alasan lain pentingnya penekanan jumlah kasus. Lonjakan kasus memberikan dampak nyata bagi tenaga kesehatan sebagai pihak yang berhadapan langsung dengan pasien.
Kepala daerah terpilih nantinya diharapkan mampu cepat tanggap dalam merespons kondisi Covid-19 ini.
Lelah mental
Hasil studi yang dilakukan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia terhadap 1.460 tenaga kesehatan menyimpulkan bahwa sekitar 80 persen tenaga kesehatan sudah mengalami burn out atau kelelahan mental. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) melaporkan 115 dokter meninggal akibat Covid-19.
Dari waktu ke waktu angka kematian ini terus meningkat. Jumlah ini belum termasuk tenaga kesehatan lain, seperti perawat. Tingginya angka penambahan kasus juga memperbesar peluang orang-orang di sekitar kita, seperti teman atau tetangga menjadi sumber penularan.
Dilihat dari sudut pandang kesehatan dan berbagai fakta di lapangan, pelaksanaan pilkada pada Desember 2020 ini sebaiknya ditinjau kembali. Tetapi tampaknya DPR dan pemerintah seia-sekata untuk tetap melanjutkan pilkada.
Seandainya keputusan untuk tetap melangsungkan pilkada sesuai rencana sudah bulat, tugas selanjutnya adalah memastikan agar kerumunan massa tidak terjadi, misalnya dengan melakukan proses kampanye secara daring. Blusukan yang selama ini menjadi alat kampanye yang efektif harus dihindari, blusukan akan menyebabkan orang berkumpul dan kadang kala bisa abai dalam menjaga protokol Kesehatan.
Kesehatan petugas merupakan hal lain yang patut diperhatikan selama pelaksanaan pilkada. Bagi para petugas, skrining kesehatan seperti swab PCR sebaiknya dilakukan terlebih dahulu. Pemeriksaan rapid test tidak dianjurkan karena tingkat negatif palsunya cukup tinggi, yaitu mencapai 50-60 persen.
Selain pemeriksaan Covid-19, ada tidaknya komorbiditas seperti obesitas, hipertensi (darah tinggi), atau diabetes melitus (kencing manis) pada petugas juga harus diperiksa. Kita harus ingat bahwa pemilu tahun 2019 menyisakan kesedihan yang luar biasa bagi ratusan keluarga Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Hal ini tidak boleh terulang kembali pada Pilkada 2020. Oleh karena itu, KPU pusat dan KPU daerah harus mengantisipasi hal ini.
Mengingat banyaknya pasien-pasien asimptomatik atau tanpa gejala, kejadian penularan virus dalam masyarakat patut diwaspadai. Kesiapan pemerintah daerah terkait penyediaan rumah sakit dan tenaga kesehatan harus dipastikan terlebih dahulu. Lakukan persiapan seoptimal mungkin untuk pilkada di era pandemi ini. Jangan sampai korban jatuh akibat terlalu memaksakan kehendak dan tidak mengantisipasi.
Ari Fahrial Syam, Guru Besar Fakultas Kedokteran UI.
Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 8 Oktober 2020 di halaman 7 dengan judul “Pilkada 2020 di Tengah Bencana”. https://www.kompas.id/baca/opini/2020/10/08/pilkada-2020-di-tengah-bencana/