September 13, 2024

Pilkada Aceh 2017 Lebih Damai dari Pilkada Aceh 2012

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Aceh 2017 merupakan pilkada terbesar dalam perhelatan Pilkada Serentak 2017 di tujuh provinsi. Komite Independen Pemilihan (KIP) Aceh menyelenggarakan pemilihan gubernur, pemilihan wali kota-wakil wali kota di empat kota dan pemilihan bupati-wakil bupati di enam belas kabupaten di Aceh.

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Kholilullah Pasaribu, Pilkada Aceh 2017 berjalan damai dan aman. Terjadi beberapa pelanggaran, tetapi tak ada kasus yang memberikan dampak kerugian yang luas.

“Pilkada Aceh 2017 ini adalah Pilkada Aceh yang paling damai sejak Aceh melaksanakan pilkada pada 2006. Masyarakat Aceh memanfaatkan semua kanal demokrasi, termasuk jalur independen. Upaya provokasi juga berhasil diredam. Ini adalah kesuksesan bagi penyelenggara, partai politik, dan rakyat Aceh,” kata Kholil, kepada Rumah Pemilu (27/2).

Ada satu peningkatan yang patut diapresiasi dari Pilkada Aceh 2017, yakni berkoalisinya partai lokal Aceh dengan partai nasional, yang pada pilkada sebelumnya koalisi tak dipandang sebagai langkah politik yang menarik. Dua pasangan calon (paslon) didukung oleh gabungan partai lokal dan partai nasional, sementara satu paslon dari jalur partai lain hanya didukung oleh partai nasional.

Paslon nomor urut lima, Muzakir Manaf-T.A. Khalid, didukung oleh Partai Aceh, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Bulan Bintang (PBB).

Paslon nomor urut enam, Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah, didukung oleh Partai Nasional Aceh (PNA), Partai Damai Aceh (PDA), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Demokrat, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

“Sebelumnya, partai lokal cenderung enggan untuk berkoalisi, terutama Partai Aceh yang memang memiliki kursi yang cukup untuk mengajukan calon sendiri. Sekarang, partai-partai ini, sepertinya berkompetisi untuk menemukan koalisi yang tepat,” kata Kholil.

Selain itu, banyaknya paslon dari jalur independen dan tak adanya pilkada calon tunggal di Pilkada Aceh juga patut diapresiasi. Di Pilgub Aceh, tiga paslon berkompetisi dari jalur independen. Di daerah lain, dengan total 30 paslon dari jalur independen, tersebar di Kota Langsa, Kota Lhokseumawe, Kota Sabang, Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Pidie, Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Bireun, Kabupaten Aceh Barat Daya, Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Nagan Raya, Kabupaten Aceh Tamiang, dan Kabupaten Bener Meriah.

“Di Pilkada sebelumnya (2012),  yang berpartisipasi melalui jalur independen dikesankan negatif, karena dianggap Partai Aceh sudah cukup merepresentasi kepentingan rakyat Aceh seutuhnya. Nah, di Pilkada 2017, ideolog-ideolog Partai Aceh seperti Zaini Abdullah dan Zakaria Saman justru menempuh jalur independen,” tukas Kholil.

Peningkatan lain dari Pilkada Aceh 2017, yakni berkurangnya jumlah pelanggaran yang melibatkan tindak kekerasan fisik. Berdasarkan laporan terakhir yang dirilis Perludem, terdapat 26 kasus kekerasan fisik di Pilkada Aceh 2017. Angka ini menurun drastis dari 167 kasus kekerasan yang ditemukan di Pilkada Aceh 2012.

Namun, perlu dicatat bahwa angka 26 adalah angka pelanggaran kekerasan fisik sebelum pemungutan suara berlangsung. Angka ini belum bertambah karena 16 pelanggaran di hari pemungutan suara yang dilaporkan oleh Koalisi Pemantauan Pilkada Aceh tak melibatkan kekerasan fisik. Bawaslu Aceh juga belum mempublikasi hasil temuan pelanggaran kekerasan fisik.

Menanggapi hal tersebut, Kholil menjelaskan bahwa masyarakat Aceh dan kandidat yang bertarung di Pilkada Aceh  2017  mulai sering menggunakan pendekatan kekeluargaan atau hukum dalam menyelesaikan persoalan pilkada. Upaya provokasi yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu juga berhasil diredam dan tak merusak suasana pemilu yang demokratis.

“Upaya provokasi pasca pemungutan suara ada, tapi tidak berhasil memainkan emosi masa pendukung paslon. Pelanggaran yang ditemukan juga tidak merusak suasana Pilkada Aceh yang damai,” jelas Kholil.

Diharapkan, kualitas pemilu di Aceh semakin baik. KIP dan Bawaslu Aceh mesti menjaga integritas penyelenggara pemilu dan menjaga kepastian hukum.

“Pemilu pertama di Aceh diselenggarakan hanya beberapa bulan setelah keluarnya pernyataan bergabungnya Aceh dengan Republik Indonesia, dan tingkat partisipasinya adalah 91 persen. Ini yang membuat Aceh selalu disebut sebagai contoh pemilu sukses yang dilaksanakan di masa transisi dalam diskursus pemilu internasional,“ kata Direktur PACTA Finlandia, Juha Christensen, pada diskusi “Proyeksi Pilkada Aceh 2017 dan Masa Depan Demokrasi Lokal” di Gatot Subroto, Jakarta Selatan (13/10).