Publik dikejutkan dengan banyaknya pencatutan warga, khususnya warga Jakarta sebagai pendukung pasangan calon perseorangan Pilkada DKI Jakarta 2024. Pencatutan itu diduga dilakukan secara ilegal untuk mendukung pencalonan gubernur Dharma Pongrekun-Kun Wardana. Hal tersebut mengindikasikan pelanggaran serius terhadap hak-hak pribadi warga, dan kemungkinan kelalaian bahkan kesengajaan dalam administrasi pemilu.
Pada 16 Agustus 2024, KPU DKI Jakarta mengumumkan paslon perseorangan Dharma Pongrekun-Kun Wardana lolos memenuhi syarat dengan mengumpulkan 677.468 Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebagai syarat pencalonan. Pada hari yang sama, Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) menerima beberapa aduan pencatutan nomor induk kependudukan (NIK). Selanjutnya PBHI membuka posko pengaduan pencurian data, hingga pukul 19.25 Wib, PBHI telah menerima 205 data pelaporan pencatutan sebagai pendukung calon perseorangan.
Project Manager PBHI, Gina Sabrina mengatakan, calon tunggal di Pilkada DKI Jakarta memang menciderai demokrasi dan tak memberikan pendidikan politik bagi warga, namun pencatutan dukungan sepihak juga melanggar perlindungan data pribadi. Atas pelaporan-pelaporan tersebut, PBHI akan akan memverifikasi dan mengambil beberapa langkah hukum.
“Kami berencana melaporkan hal ini ke KPU, Bawaslu, serta Mabes Polri. Dan kami meminta KPU Jakarta segera memeriksa ulang data yang dikumpulkan oleh calon independen Dharma Pongrekun-Kun Wardana,” jelas Gina dalam konferensi pers daring PBHI “Dugaan Pencurian Data Pribadi untuk Pencalonan Kepala Daerah Jalur Independen dalam Pilkada 2024” (16/8).
Menurutnya, pelanggaran ini juga menjadi peringatan keras bagi kota dan daerah lain untuk melakukan peninjauan serupa. Berdasarkan data aduan PBHI, kasus serupa tidak hanya terjadi di Jakarta, namun juga di beberapa daerah lainnya. PBHI meminta penyelenggara pemilu melakukan investigasi mendalam untuk menjaga legitimasi dan integritas pilkada.
“Kami juga sedang mempersiapkan gugatan class action terhadap para pelaku, untuk memberikan efek jera kepada calon yang terbukti melanggar,” ucapnya.
Desakan untuk Transparansi
Sementara itu, pegiat kepemiluan dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini mengatakan, fenomena pencatutan dukungan tidak hanya terjadi di Pilkada 2024, pada pilkada sebelumnya juga sudah sering terjadi. Menurutnya, karena identitas pemilih tidak dijaga dan dilindungi dengan baik. Titi mengaku, lebih dari 50 orang yang ia kenal, datanya telah dicatut sebagai pendukung pasangan calon perseorangan di Jakarta.
“Perlindungan data pribadi adalah hak asasi manusia. Keadilan pemilu bukan hanya soal hak pilih warga negara, tetapi juga melindungi hak mereka untuk memilih calon yang berhak dan memenuhi syarat. Jika ada calon yang tidak memenuhi syarat menjadi peserta pemilu, itu adalah kejahatan pemilu,” kata Titi.
Titi menerangkan, syarat menjadi calon perseorangan di pilkada memang sangatlah berat, terlebih ada kenaikan persyaratan dibandingkan fase awal kepesertaan calon perseorangan di UU/12 2008. Setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperbolehkan calon perseorangan hanya 3 sampai 6,5% dari jumlah penduduk, kemudian setelah masuk rezim pilkada serentak, sejak 2015 syarat calon perseorangan berubah menjadi 6,5% sampai 10%.
Beratnya persyaratan itu yang membuat jumlah calon perseorangan semakin dari tahun ke tahun, Bahkan di Pilkada 2020, hanya sekitar 70-an calon perseorangan yang bisa lolos verifikasi administrasi. Selain itu, calon perseorangan juga harus diverifikasi faktual dengan model sensus, bukan dengan sampling. Titi menyebut, model sensus mengharuskan paslon menemui langsung pendukung, dan tidak memungkinkan adanya pendukung yang diakui tanpa ditemui, karena syarat verifikasi faktual adalah pertemuan langsung. Metode itu sama dengan pencalonan perseorangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Lebih lanjut, syarat pencalonan perseorangan di pilkada berbeda dengan verifikasi persyaratan partai politik peserta pemilu yang menggunakan sampel. Titi menjelaskan, syarat dukungan calon perseorangan dalam pilkada harus betul-betul ditemui, dan jika tidak bisa ditemui harus ada pernyataan keluarga yang mendukung dalam pernyataan tertulis.
“Memang persyaratannya berat, tetapi persyaratan yang berat itu bukan berarti bisa dimanipulasi,” tegas Titi.
Atas banyaknya laporan pencatutan sebagai pendukung, Bawaslu seharusnya proaktif menindaklanjuti tanpa harus menunggu laporan. Menurut Titi, setiap laporan yang masuk harus diproses, termasuk temuan awal atau indikasi yang beredar di masyarakat atau media sosial, karena menyangkut kepercayaan publik terhadap proses pilkada secara keseluruhan.
“Sikap responsif Bawaslu sangat dibutuhkan. Apa yang sudah ada di ruang publik seharusnya menjadi bukti yang cukup untuk mengambil langkah hukum dalam menindaklanjuti dugaan penyalahgunaan data warga untuk kepentingan syarat dukungan perseorangan,” ujarnya.
Penegakan Hukum Pelanggaran Perlindungan Data Pribadi dalam Pilkada
Menurut Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Parasurama Pamungkas, dasar hukum yang harus dipenuhi oleh pasangan calon dalam memproses KTP sebagai persyaratan pencalonan adalah adanya persetujuan. Mengacu undang-undang Perlindungan Data Pribadi (PDP), sebelum melakukan pemrosesan, calon harus memperoleh persetujuan dan menginformasikan kepada setiap orang yang akan menjadi calon pendukung bahwa datanya akan diproses sebagai syarat pencalonan.
“Tindakan ini merupakan pelanggaran pidana. Bahkan dalam konteks hukum, undang-undang PDP mengatur bahwa setiap pemrosesan data harus berdasarkan persetujuan,” jelas Parasu.
Parasu melihat, dalam kasus ini KPU bertindak sebagai pengendali data, karena ada ratusan ribu data yang harus diserahkan sebagai syarat pencalonan. Sebagai pengendali, KPU wajib memastikan akurasi data melalui proses verifikasi, baik verifikasi administrasi maupun verifikasi faktual, untuk memastikan kebenaran data.
“Seharusnya verifikasi faktual dilakukan untuk memastikan keabsahan data, sesuai dengan konsep PDP dan undang-undang yang berlaku,” ujarnya.
Lebih lanjut, Parasu mengatakan, pada Pemilu 2024, Bawaslu menemukan ada 30 partai politik yang melakukan pencatutan data dan ada 164 calon peserta pemilu melakukan pencatutan data, namun hingga saat ini belum ada kejelasan. Ia menyebut, pencatutan dan pelanggaran perlindungan data terus berulang karena tidak ada penegakan hukum yang jelas.
“Sebagai perbandingan, di Belgia, seorang calon yang melakukan pengumpulan data pribadi konstituen secara tidak sah dikenai denda administratif oleh otoritas setempat. Kandidat tersebut dihukum karena tidak memiliki dasar hukum yang memadai dalam pemberkasan data konstituen,” imbuhnya.
Pencurian data pribadi melanggar ketentuan prosedural pemilu dan pilkada, serta melanggar UU HAM 39/1999 berupa hak politik dan hak atas identitas. Selain itu, berdasarkan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta UU PDP, pencurian data merupakan tindak pidana.
“Selain melanggar hukum, pencurian data pribadi juga merusak proses demokrasi, sehingga perlu tindakan hukum yang tegas untuk memberikan efek jera dan menjaga integritas proses pemilu,” pungkas Parasu. []