November 15, 2024

Pilkada Milik Siapa?

Pilkada serentak gelombang kedua beberapa bulan lagi akan segera dimulai tahapannya. Sekitar 101 daerah yang terdiri dari 7 provinsi dan 92 kabupaten/ kota akan melaksanakan hajatan demokrasi pada bulan Februari Tahun 2017.

Pada saat ini KPU RI sedang melakukan evaluasi dan dimungkinkan perbaikan terhadap regulasi teknis bagi daerah-daerah yang akan melaksanakan Pemilihan di Tahun 2017. Penataan pilkada menjadi beberapa kali gelombang ini dalam rangka menuju Pilkada serentak nasional yang direncanakan terjadi pada Tahun 2027.

Beberapa argumen dari Kementerian Dalam Negeri terkait perlunya pengaturan waktu secara serentak ini adalah untuk memperkuat posisi pemerintah daerah, selain itu juga untuk efisiensi biaya penyelenggaraan Pemilihan. Seiring dengan penguatan pemerintahan daerah yang terbentuk maka diharapkan proses pilkada serentak juga sudah mengarah pada demokrasi substansial tidak lagi hanya terjebak pada hiruk pikuk sesaat yang cenderung menjadi perwujudan demokrasi prosedural.

Berbicara tentang substansi demokrasi kiranya masih cukup relevan menyitir apa yang disampaikan oleh Abraham Lincoln bahwa demokrasi adalah pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Pengertian di atas tentunya menyiratkan impian yang indah tentang gambaran pemerintahan yang ideal dan menjadi dambaan semua orang.

Dilihat dari sisi substansi arti demokrasi maka proses “kunci” dalam demokrasi adalah adanya partipasi aktif, adanya pelibatan rakyat di setiap tahapan. Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah apakah pilkada serentak 9 Desember 2015 kemarin sudah benar-benar perwujudan demokrasi? Dan apakah Pilkada beberapa waktu yang lalu sudah menjadi “milik” rakyat?

Sesuai Undang-Undang Nomor 08 Tahun 2015 Pasal 8 ayat (1) bahwa penyelenggaraan Pilkada (baca: Pemilihan) menjadi tanggung jawab bersama KPU, KPU Propinsi, dan KPU kabupaten/ Kota. Berdasar hal tersebut maka KPU RI sebagai pemegang tanggung jawab akhir dan mempunyai kewenangan dalam membuat regulasi berupaya semaksimal mungkin untuk mengejawantahkan substansi demokrasi dalam setiap produk hukumnya.

Dalam konteks mendorong partisipasi masyarakat, KPU menetapkan Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2015 tentang Sosialisasi dan Partisipasi masyarakat dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota. Dalam Peraturan KPU tersebut disebutkan ada 5 (lima) bentuk peran pasrtisipasi masyarakat dalam Pemilihan yaitu; keterlibatan dalam penyelenggaraan pemilihan, pengawasan dalam setiap tahapan pemilihan, sosialisasi pemilihan, pendidikan politik bagi pemilih, pemantauan pemilihan, dan survei atau jajak pendapat tentang pemilihan serta jajak pendapat hasil pemilihan.

Melihat peran-peran yang diatur dalam Peraturan KPU tersebut tergambar bahwa peluang masyarakat untuk ikut aktif di setiap tahapan Pemilihan sangat terbuka lebar. Tidak hanya sampai pada tataran regulasi saja, untuk mendorong partisipasi aktif masyarakat khususnya dalam tahapan pemutakhiran data pemilih maka KPU membuat portal online sistem data pemilih (sidalih) yang bisa diakses secaraonline di http://data.kpu.go.id.

Dengan melalui portal online tersebut masyarakat bisa mengecek secara langsung apakah dirinya sudah tercatat sebagai pemilih dalam Pemilihan atau belum. Dalam hal keterlibatan dalam penyelenggaraan Pemilihan, KPU juga membuka ruang bagi masyarakat untuk aktif dalam penyelenggara Pemilihan khususnya di dalam badan ad hoc mulai dari Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS) serta Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).

Minim Partisipasi

Walaupun kran partisipasi masyarakat sudah dibuka sedemikan luas ternyata tidak berbanding lurus dengan fakta di lapangan. Gegap gempita Pilkada hanya terasa di beberapa tahapan saja seperti pada saat masa kampanye dan pada saat hari pemungutan suara. Harapan agar masyarakat aktif terlibat dalam setiap tahapan Pemilihan sebagai pengejawantahan substansi demokrasi ternyata masih belum begitu terlihat.

Setelah Daftar Pemilih Sementara (DPS) diumumkan oleh PPS ke masyarakat pada tanggal 10 s.d 19 September 2015 ternyata antusias masyarakat untuk mencermati data pemilih masih minim. Hal ini terbukti dari sedikitnya masukan dan tanggapan dari masyarakat yang disampaikan kepada PPS di masing-masing desa. Untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam melakukan pencermatan data pemilih sudah dilakukan oleh KPU, salah satunya melalui SMS broadcast yang dilakukan oleh KPU Bantul. Tetapi lagi-lagi terobosan ini belum mampu mendongkrak peran serta masyarakat untuk aktif di tahapan pemutakhiran data pemilih.

Selain dalam hal pemutakhiran data pemilih, antusias yang minim juga dirasakan pada saat pembentukan badan ad hoc penyelenggara Pemilihan. Pembentukan PPK ditingkat kecamatan dan PPS ditingkat desa cukup menyita waktu. KPU Bantul dalam membentuk PPK dan PPS harus memperpanjang waktu pendaftaran untuk memenuhi kuota calon di 17 kecamatan dan 75 desa di Bantul.

Hal yang tidak jauh beda adalah pada saat pembentukan KPPS, norma baru tentang adanya pembatasan periodisasi bagi penyelenggara badan ad hoc termasuk di dalamnya KPPS cukup menyulitkan pembentukan KPPS. Spirit regenerasi penyelenggara Pemilihan di badan ad hoc yang diatur dalam PKPU Nomoer 03 Tahun 2015 tidak kemudian direspon positif oleh masyarakat dengan antusias mendaftar sebagai PPK, PPS, atau KPPS.

Melihat beberapa fakta yang ditemukan di lapangan pada saat tahapan Pemilihan maka tepat kiranya untuk kembali melihat sejauh mana Pilkada yang baru saja kita lewati menjadi perwujudan demokrasi secara substansi. Minimal ada 2 (dua) sebab yang dimungkinkan menjadi muara minimnya keterlibatan masyarakat dalam setiap tahapan Pemilihan.

Pertama, apatisme politik dimasyarakat. Gelaran Pilkada seretak 09 Desember dilaksanakan selang 1 tahun dari Pileg dan Pilpres 2014, produk dari pesta demokrasi tersebut saat ini sudah bisa dinilai oleh masyarakat. Janji-janji politik para anggota DPR maupun DPRD sudah saatnya ditunaikan. Alih-alih menepati janji pada saat kampanye, yang terjadi dibeberapa daerah beberapa oknum anggota DPR maupun  DPRD terlibat melakukan korupsi yang jelas-jelas merugikan rakyat.

Peristiwa korupsi yang melibatkan oknum wakil rakyat produk Pileg 2014 tentunya melukai hati rakyat sebagai pemegang kedaulatan yang dimandatkan kepada para anggota dewan. Hal inilah yang menimbulkan apatisme politik rakyat terhadap pemilihan kepala daerah terlebih dalam perannya disetiap tahapan pemilihan.

Kedua, pendidikan politik yang gagal. Pendidikan politik bagi warga negara menjadi hal yang substansi untuk menumbuhkan kesadaran berpolitik dimasyarakat. Pendidikan politik tentunya menjadi tanggung jawab banyak pihak diantara pemerintah, partai politik, penyelenggara Pemilihan, dan masyarakat itu sendiri. Dalam konteks pelaksanaan Pilkada harus diakui bahwa pendidikan politik masih dilakukan secara parsial oleh pihak-pihak yang berkepentingan secara langsung dan itupun masih sangat terbatas.

Dengan latar belakang hal tersebut maka lumrah apabila kesadaran masyarakat untuk kemudian aktif terlibat di setiap tahapan Pemilihan masih minim. Kedepan tentunya perlu ada skema yang jelas tentang pendidikan politik bagi warga negara agar tumbuh kesadaran berpolitik di masing-masing warga negara sehingga keterlibatan warga dalam tahapan pemilihan menjadi sebuah kebutuhan yang muncul secara otomatis. Pada akhirnya tulisan ini menjadi sebuah refleksi bersama untuk kemudian menjadi pijakan dalam menyongsong Pilkada serentak 2017, Pilkada milik siapa?

DIDIK JOKO NUGROHO
Komisioner KPU Bantul masa bakti 2013-2018

Tulisan ini pendapat pribadi tidak mencerminkan pendapat lembaga