270 daerah, yang terdiri dari sembilan provinsi, 37 kota dan 224 kabupaten, akan menggelar pesta demokrasi berbarengan sebentar lagi. Walau diadakan di tengah pandemi Covid-19 yang masih mencekam, Pilkada Serentak 2020 nyatanya tetap tercantum di agenda kerja Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Praktis, karena pandemi, tantangan para peserta Pilkada tahun ini menjadi jauh lebih berat. Mau menggelar acara yang mengumpulkan massa dalam jumlah besar, nanti disemprit karena melanggar protokol kesehatan. Pasang baliho atau reklame di pinggir jalan, efektivitasnya kemungkinan rendah mengingat beberapa orang masih berkomitmen untuk membatasi aktivitasnya di luar rumah.
Kepikiran bagi-bagi uang dan sembako buat menaikkan elektabilitas? Benar, banyak masyarakat yang sedang membutuhkan, sih. Tapi baiknya strategi ini biar ditempuh mereka yang masih nekat saja, lah.
Perhelatan Pilkada di tengah pandemi Covid-19 akan menjadi pengalaman baru bagi kita semua. Masing-masing kandidat dan tim pemenangannya pasti lagi pusing memikirkan strategi komunikasi yang tepat dan efektif. Sementara para konstituen sedang fokus-fokusnya bertahan hidup di situasi ini dan sangat mungkin menomorsekiankan ajang pencoblosan.
Bagi saya, inilah momentumnya, momentum untuk menggunakan strategi politis yang legal dan relevan di momen extraordinary ini sembari bermanfaat untuk menghibur masyarakat yang sedang jengah: berhumor.
Mengapa humor layak jadi kartu As para politisi? Politik elektoral sangat identik dengan strategi komunikasi. Klop, hal tersebut adalah output yang sangat bisa diupayakan dari berhumor. Dengan menunjukkan selera humor yang bagus, seseorang bisa lebih mudah untuk disukai. Apalagi dengan posisi media massa kini yang telah merangsek ke panggung politik praktis, baik sebagai watchdog maupun yang mengemas politik sebagai bentuk hiburan baru.
Dalam artikel ilmiahnya bertajuk Humor as a Double-edged Sword: Four Functions of Humor in Communication (2000), John C. Mayer menjelaskan bagaimana penggunaan humor dalam mengonstruksi pesan memiliki dua fungsi mendasar: pemersatu dan pemecah. Menariknya, politisi dicatut sebagai pihak yang sangat diuntungkan oleh sifat humor itu karena humor bisa digunakan sebagai alat untuk menyatukan massa sekaligus mendeferensiasi diri dengan oposisinya.
Humor sebagai alat politis
Humor untuk kepentingan politis sejatinya bukan monopoli kelompok tertentu. Namun keadaannya sekarang, sirkulasi humor politis memang sangat tidak berimbang. Political jokes lebih sering dipakai oleh rakyat atau kelompok tertindas untuk melancarkan kritik ke status quo. Kadang juga dipakai sebagai pelarian dari situasi negara yang amburadul dan membikin takut.
Yang tidak banyak kelompok elite tahu, alih-alih menghindari apalagi merepresi humor politik, mereka sebenarnya bisa ambil bagian dalam permainan ini, misalnya dengan melempar self-deprecating joke (humor yang mengolok diri sendiri). Secara politis, strategi ini akan menguntungkan, karena bisa membumikan diri dengan rakyat yang hendak diwakilinya di kontestasi politik.
Humor self-deprecating juga mengindikasikan bahwa pelontarnya menerima dan tahu betul apa saja kelemahan dalam dirinya. Ibaratnya, politisi yang membercandai kelemahan dirinya sendiri di muka publik sama seperti kita-kita yang bisa menjawab dengan lancar pertanyaan “Apa kekurangan Anda?” di depan HRD ketika melamar pekerjaan.
Contoh paling fenomenal adalah apa yang pernah mantan presiden Amerika Serikat, Abraham Lincoln, katakan. Saat dituduh bermuka dua atau munafik di debat capres terbuka oleh lawan politiknya, Lincoln menjawab, “Kalau benar saya bermuka dua, ngapain saya memakai muka yang ini?” Humor itu pun menjadi tangkalan serangan lawan sekaligus manifesto kesadaran Lincoln atas wajahnya yang tak terlalu rupawan.
Sementara di Indonesia, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur masih diakui sebagai politisi yang amat lihai dalam melancarkan humor politik sekaligus self-deprecating. Walau mendapat tekanan supaya mundur sebagai presiden, Gus Dur bergeming. Alasannya sederhana, “Saya berjalan maju saja susah, malah disuruh mundur.”
Selain menjadikan diri sendiri sebagai objek tertawaan, cara lain yang bisa dicoba adalah dengan melancarkan kampanye yang menimbulkan kebahagiaan. Beberapa politisi AS sudah biasa ikut tampil di program televisi komedi populer, baik sebagai bintang tamu maupun kameo, tetapi Mike Bloomberg lebih berani. Bakal calon presiden Partai Demokrat itu sempat menggebrak dengan kampanye humoristis nan menghibur di media sosial melalui meme-meme lucu.
Mau menerbitkan buku otobiografi atau biografi? Boleh boleh saja. Menuangkan ideologi, gagasan, program, hingga capaian yang akan relevan dengan misi politis masih menjadi jalan pop untuk memikat pemilih, kok.
Cuma masalahnya, bagaimana menjaring dan menarik swing voter atau orang-orang yang di luar lingkaran pemilih si politisi tertarik membacanya? Mengingat yang namanya politisi, kalau menulis buku ya jelas sudah kepentingan politisnya.
Misi ini bisa dibungkus dengan humor. Tonjolkan rasa senang dan kebahagiaan sebagai pengalaman esensial yang akan didapat pembaca dalam membaca buku ini.
Di Negeri Paman Sam, sudah sangat umum para politisi beradu narasi di buku-buku otobiografinya. Sindir-menyindir lawan politik di kubu seberang jadi menu yang lazim dihidangkan.
Namun yang tidak kalah menarik, beberapa di antara mereka tidak hanya menjual gagasan dan program, tetapi juga karakter yang humanis. Makanya, di sampul buku-buku tersebut, adalah wajar kalau kata “politician” bersanding dengan kata sifat macam “hilarious” dan “funny”.
Soal ini, ada cerita menarik. Saya pernah membaca buku kumpulan humor Senayan yang ditulis oleh seorang politisi yang pernah menjadi penghuni di sana. Buku mungil itu menjadi bukti bahwa wakil rakyat juga manusia biasa yang punya selera humor, punya pengalaman yang lucu-lucu saat bekerja, serta pernah berbuat salah atau ceroboh dan boleh ditertawakan. Misinya sebenarnya bagus dan perlu diapresiasi, terlepas dari lika-liku karir politik penulisnya.
Pada titik tertentu, campur aduknya politik dan hiburan memang memuakkan. Namun, mohon berikan maklum. Di masa butuh perjuangan ekstra seperti ini, lebih baik kebutuhan politisi untuk sekadar dikenal oleh konstituennya dialihkan untuk menghibur masyarakat seluas-luasnya. []
ULWAN FAKHRI
Peneliti Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3)