Pada 21 September, Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah bersama penyelenggara pemilu menyepakati pilkada tetap dilanjutkan dalam pandemi. Bagi Komisi II DPR, Menteri Dalam Negeri, Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, seluruh tahapan pilkada yang sudah dan sedang berlangsung masih sesuai sebagaimana yang telah direncanakan dan situasi yang masih terkendali.
Padahal, kesimpulan “sesuai yang telah direncanakan dan situasi yang masih terkendali” jika merujuk pada fakta, menyatakan sebaliknya. Situs covid19.go.id menunjukan 21 September 2020 ada 4.716 orang positif Covid-19, tertinggi sejak Maret 2020 dengan korban nyawa terus di atas angka 100. Wabah pun sudah menghasilkan klaster pilkada dengan banyaknya anggota penyelenggara pemilu dan bakal pasangan calon yang positif Covid-19. Sebelumnya, Bawaslu mencatat 243 dugaan pelanggaran protokol kesehatan dalam proses pendaftaran bapaslon kepala daerah.
Keinginan DPR dan Pemerintah melanjutkan pilkada dalam pandemi pun bertolak belakangan dengan keinginan publik. Hasil survei beberapa lembaga menyimpulkan mayoritas publik ingin pilkada ditunda dan tak puas dengan penanganan pemerintah mengatasi wabah. Koalisi masyarakat sipil pemilu dan demokrasi menyerta petisi Change.org meminta pilkada dalam pandemi ditunda sampai siap regulasi dan waktu. Dua organisasi kemasyarakatan terbesar, Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah pun sudah meminta penundaan pilkada.
Kontradiksi lanjut/tunda DPR dan Pemerintah dengan masyarakat sipil membuat kita bertanya, pilkada untuk siapa?
Yang kita tahu mengubah hari pemungutan suara pada Desember 2020 ke tengah 2021 berarti mengurangi masa jabatan 270 kepala daerah terpilih. Di Pilkada 2018, pemenangan daerah amat menjamin pemenangan Pemilu Nasional 2019. Pilkada 2020 adalah pilkada terakhir sebelum pemilu nasional 2024. Mengurangi masa jabatan kepala daerah karena penundaan berarti mengurangi kewenangan kuasa anggaran dan struktur untuk menjamin pemenangan Pemilu 2024.
Siapa tak taat hukum?
Di tengah wabah, naluri kekuasaan elite politik yang mengalahkan hati nurani makin terlihat. Salah satu poin Rapat 21 September adalah penegakan disiplin dan sanksi hukum yang tegas sesuai dengan UU 10/2016 tentang Pilkada, khususnya Pasal 69 huruf e dan huruf j dan 187 ayat (2) dan ayat (3); UU 4/1984 tentang Wabah Penyakit Menular, khususnya Pasal 14 ayat (1); UU 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, khususnya Pasal 93; dan penerapan KUHP bagi yang melanggar, khususnya Pasal 212, 214, 216 ayat (1), dan 218.
Poin itu menunjukan, DPR dan Pemerintah menyimpulkan, pelanggaran protokol Covid-19 dalam pilkada selama ini lebih disebabkan oleh masyarakat. Padahal, sejak awal Covid-19 menjadi pandemi para politisi dan pejabat publik berkata/sikap salah tanpa pertanggungjawaban. Dalam rangka melanjutkan kekuasaan di daerah melalui pilkada, pembuat kebijakan malah membeberkan sejumlah regulasi penghukuman terhadap warga atas nama ketertiban dan keamanan.
Siapa yang selama ini melanggar hukum? Siapa yang tak berpegang pada kepastian hukum? Kepada siapa pasal karet berpihak? Hukum bukan hanya tajam ke bawah tapi juga bagi yang melawan kekuasaan.
UU 6/2020 hasil Perpu 2/2020 memang menitah pemungutan suara pada Desember 2020. Yang perlu diingat, DPR dan Presiden membuat pasal 201A yang berbunyi, pemungutan suara Desember 2O2O bisa ditunda dan dijadwalkan kembali apabila tidak dapat dilaksanakan karena bencana nasional pandemi Covid-19 belum berakhir.
Artinya, pilkada menyerta sejumlah tahapannya yang masih diselenggarakan di tengah wabah meluas dan meningkat ini, adalah wujud DPR dan Presiden yang bukan hanya membiarkan warga negara dalam ancaman sakit dan mati tapi juga melanggar hukum yang dibuatnya sendiri. Pembuat hukumlah yang tak taat hukum.
UU Pilkada amat cukup jadi dasar hukum pendundaan pilkada. UU Pilkada dan peraturan perundangan-undangan terkait, bukan hanya cukup menjawab perubahan waktu tapi juga mengisi jabatan kepala daerah yang kosong sebagai dampak penundaan. Yang dirugikan jika penundaan pilkada hanya kepala daerah terpilih karena berkurang masa jabatannya dan elite politik yang berkepentingan dalam jabatan yang menyempit ini.
Pertanyaan “pilkada untuk siapa?”, jawabannya adalah untuk pemilik kedaulatan demokrasi: rakyat. Pilkada adalah syariat pemerintahan “dari, oleh, dan untuk rakyat” di daerah.
Kita bisa mengingat pada 2014, selepas pemilu menghasilkan anggota DPR terpilih, para wakil rakyat ini menginginkan pilkada tak langsung. Mayoritas rakyat menolak dengan berbagai cara: advokasi undang-undang, demonstrasi, petisi, diskusi, bahkan pernyataan sikap dengan KTP. #dukungpilkadalangsung adalah suara rakyat, bukan elite kekuasaan.
Sejatinya, rakyat yang menginginkan pilkada langsung. Jika sekarang rakyat ingin menundanya untuk perlindungan kesehatan serta jiwa dan perbaikan undang-undang pilkada di tengah wabah, maka DPR, Pemerintah, dan penyelenggara pemilu, harus menunda pilkada. Dengan rasa hormat, atas nama demokrasi. []
USEP HASAN SADIKIN