August 8, 2024

Pilkades dan Penguatan Demokrasi Indonesia

Pilkada Serentak Tahun 2020 telah usai, begitu pula Pemilu 2019. Meski telah usai, keduanya tetap menyisa soal bagaimana menguatkan demokrasi kita. Salah satunya, bagaimana negara melihat demokrasi desa sebagai satu episentrum, sumber penguatan kualitas pemilu juga pilkada pada masa akan datang.

Sama seperti pemilu, pilkades juga mengandung beragam soal. Di dalamnya para pihak berkepentingan menyasar pilkades sebagai gelanggang politik yang harus direbut. Sebab itu, pilkades tak pernah lepas dari hal-hal yang menjadi problem pada pemilu ataupun pilkada.

Aktor-aktor yang terlibat dalam pilkada juga pemilu dipastikan akan kembali menyasar proses demokrasi desa. Satu hal yang pasti mereka sedang menghubungkan jalan bagi kemenangan di pemilu dan pilkada dengan menguasai para kontestan yang terlibat dalam pilkades.

Asumsinya sederhana, mereka yang menang di desa tentu memiliki loyalis pribadi ditambah dengan perangkat kekuasaan yang dimilikinya. Menguasai hasil demokrasi desa sama dengan selangkah menguasai konstestasi pilkada dan pemilu di masa depan. Meskipun kita sama mahfum praktik tersebut membut peta jalan mundur penguatan demokrasi Indonesia.

Pilkades dan Bayang Politik Uang

Soal ini menjadi serius, sebab praktik politik uang tak hanya menyasar pemilu juga pilkada. Kontestasi perebutan kekuasaan di desa juga tak kalah menjadi perbincangan publik bagaimana politik uang memiliki daya tekan dalam proses pilkades.

Problem data pemilih di desa, netralitas ASN, aparat desa, juga politik uang menjadi soal yang mengiris proses demokratisasi desa. Problem itu setidaknya turut muncul dari problem Undang-Undang Desa, Peraturan Menteri Dalam Negeri, sampai Perbup Pilkades. Misal tidak terang bagaimana politik uang diatur dalam Undang-Undang Desa dan bagaimana Perbup di berbagai daerah mengatur tentang sanksi administrasi pembatalan bagi calon yang terbukti terlibat politik uang.

Kuatnya beragam kepentingan dalam proses pilkades, membuat pilkades perlu menjadi pusat pembicaraan publik. Proses pilkades yang bermartabat tentu membuat pemilu juga pilkada menjadi berkualitas. Terbebas dari bayang politik uang, paling tidak mendatangkan harapan tentang kuatnya demokrasi Indonesia pada masa depan terkhusus Pemilu dan Pilkada 2024.

Politik uang sebagai satu bagian dari musuh bebuyutan demokrasi, jika tidak segera diatasi akan menggerogoti harapan tentang demokrasi yang lebih baik. Politik Uang yang terus menguat digerakkan oleh kelompok-kelompok yang menganggap kemenangan dalam kontestasi tertentu harus direbut dengan cara apapun. Tak tanggung-tanggung mereka yang terlibat dalam ruang ini mengendarai ketaksadaran warga Negara tentang bahaya laten politik uang.

Para politisi melihat pilkades sebagai momen membangun kemenangan dalam pemilu dan pilkada pada masa depan. Sebab itu, melihat pilkades semata perebutan kepemimpinan di tingkat desa adalah kurang tepat. Pilkades setidaknya akan turut andil membangun rupa kualitas pemilu dan pilkada Indonesia.

Mendorong partisipasi publik dalam pengawasan proses demokrasi desa memang merupakan satu keharusan. Namun dalam konsepsi negara hukum demokrasi, partsipasi harus selalu disandingkan dengan ketersediaan norma yang mengatur secara khusus dan tegas tentang politik uang dalam pilkades.

Prasyarat ini akan membuat proses penyelesaian masalah dalam pilkades menjadi lebih mudah, sekaligus membuat pemerintah daerah tanggap dalam menyelesaikan permaslahan yang muncul. Partisipasi adalah dari kesadaran objektif warga negara sementara hukum soal keteraturan yang harus negara sediakan, keduanya tak boleh saling meniadakan dalam ruang demokrasi. Apalagi beranggapan pilkades kurang “elite” untuk diperbincangkan.

Menjaga Demokrasi Desa

Soal yang paling serius dan mendasar, bagaimana desa menjadi sumber kekuatan menyanggah bangunan demokrasi Indonesia?

Membangun kualitas pilkades sebelum tahun 2024 sama dengan mendesain kualitas pemilu dan Pilkada 2024. Kesiapan keserentakan pilkades di setiap daerah bukan hanya dilihat dari bagaimana pelaksanaan itu dapat terselenggara tepat waktu, tetapi pada tahapan proses terselenggaranya pilkades harus dibangun lewat proses-proses bermartabat dalam demokrasi.

Sebenarnya para tim sukses di tingkat desa pada pemilihan atau pemilu adalah wajah-wajah yang sama yang menjadi tim sukses pada pilkades. Kelompok ini terlibat dalam pemenangan para kandidat, sebab itu tim sukses dalam proses pilkades selalu akan beririsan dengan tim sukses yang akan terlibat dalam pilkada maupun dalam proses pemilu.

Aspinal dalam bukunya “Demokrasi For Sale” bahkan menyebutkan kelompok-kelompok di level Desa tersebut, saat kontestasi pemilihan akan terbentuk sendiri untuk mendapatkan kesempatan menikmati praktik politik uang dengan “menghubungkan” para elite dengan pemilih di desanya. Suatu praktik yang tentu sangat membahayakan demokrasi kita.

Jika proses pilkades adalah hasil dari proses yang berdaulat maka tentu ketika Pemilu atau Pilkada 2024 para kepala desa itulah yang akan terlibat penuh mengkampayekan antipolitik uang. Ia membangun politik sadar di masyarakatnya karena mampu mencontohkan apa yang telah dilaluinya dalam pilkades.

Praktik penyadaran tentu akan lebih mudah saat menghadapi pilkada dan pemilu oleh Bawaslu dan lembaga-lembaga pemerhati demokrasi, sebab gagasan pengawasan partisipatif, antipolitik uang sebelumnya telah tumbuh dalam ruang sosial masyarakat desa.

Pengendali politik uang di tingkat pilkades harus sudah menjadi percakapan publik, merevisi Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa dengan membuat norma khusus yang mengatur tentang politik uang dan pemberian sanksi administratif pembatalan calon dalam pilkades adalah satu agenda penting menguatkan pemilu dan pilkada Indonesia.

Dengan kehadiran norma seperti itu, kekuatan sosial masyarakat di level desa akan semakin menguat melawan praktik kotor politik uang. Dan tidak menutup kemungkinan perlawanan terhadap praktik yang merusak demokrasi tersebut akan tumbuh menghiasi proses-proses pemilu juga pilkada Indonesia. []

KAHARUDDIN ANSHAR

Anggota Bawaslu Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan