August 8, 2024

Piramida Institusi Penyelenggara Pemilu, KPU Kabupaten/Kota Menanggung Beban Terbesar

Institusi penyelenggara pemilu, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU), layaknya piramida. KPU kabupaten/kota menanggung beban penyelenggaraan pemilu terbesar dibandingkan KPU provinsi dan KPU RI yang berfungsi sebagai regulator dan penanggungjawab akhir.

Dalam konsep pemilu serentak, terutama Pemilu Serentak 2024, KPU kabupaten/kota beserta Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) menanggung bobot lima pemilu, yakni pemilihan presiden (pilpres), pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pemilihan anggota DPR Daerah (DPRD), pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara bersamaan. Bobot lima pemilu tersebut bukan tugas yang ringan.

“Lima pemilu akan diselengarakan oleh KPU kabupaten/kota. Kalau KPU RI cuma tiga pemilu, dan KPU provinsi empat pemilu. Nah, di kabupaten/kota semua beban itu bertumpuk. Lalu, kenapa kok bawahnya yang disederhanakan?” kata Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, pada diskusi “Mewujudkan Lembaga Penyelenggara Pemilu Berintegritas: Ad hoc-sisasi KPU Kabupaten Kota?” di Menteng, Jakarta Pusat (8/5).

Titi berpendapat bahwa Pemerintah tak seharusnya menganggap KPU kabupaten/kota menganggur setelah pelaksanaan pemilu serentak. Pasalnya, KPU kabupaten/kota akan tetap melaksanakan fungsi sebagai implementator kebijakan KPU RI, yakni pemutakhiran daftar pemilih berkelanjutan, pendidikan pemilih, dan mengurus arsip kepemiluan.

“Ada karakter institusi pemilu yang membuat tugasnya tidak bisa dialihkan ke institusi lain. Daftar pemilih misalnya, data pemilih dan data penduduk itu berbeda. Data pemilih lebih detil dan berdasarkan kondisi faktual. Kemudian, arsip. Arsip kepemiluan tidak bisa disimpan oleh arsip nasional. Pendidikan pemilih juga berbeda dengan pendidikan politik,” jelas Titi.

Sekretaris Jenderal Komite Komite Independen Pemantau Pemilihan (KIPP), Kaka Suminta, mengatakan, bahwa gagasan adhoc-sisasi tidak sesuai dengan Pasal 22 e Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menyatakan bahwa pemilu diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. UU No.12/2003 pun menyatakan adanya institusi KPU kabupaten/kota.

Kaka mengimbau agar Panitia khusus (Pansus) Rancangan UU (RUU) Pemilu tak mengabaikan hal teknis kepemiluan. Peraturan KPU (PKPU) mesti dibahas satu tahun sebelum  pemilu oleh KPU kabupaten/kota. Penyelenggara di tingkat bawah juga bertugas menyusun Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) dua tahun sebelum pemilu.

“Saya gak bs bayangkan kalau hal-hal teknis seperti ini diabaikan oleh Pansus. Bisa ada kekacauan di daerah terkait PAW (Penggantian Antar Waktu) anggota DPR atau kepala daerah, misalnya,” ujar Kaka.

Efisiensi anggaran negara tak mesti melalui adhoc-sisasi KPU kabupaten/kota. Beban honorarium anggota tak sepadan dengan pertaruhan kualitas pemilu, terutama di daerah.