Sebagai bentuk implementasi dari demokrasi prosedural, pemilihan umum tidak lepas dari konteks trial and error sebagaimana menjadi salah satu prinsip berdemokrasi. Sekalipun sebagai bentuk dari demokrasi prosedural, penyelenggaraan pemilu tidak jarang justru menjadi ukuran demokrasi (prosedural dan substansial) pada sebuah negara.
Tidak hanya memotret sejauh mana semua penduduk dapat menyalurkan suaranya, tetapi bagaimana agar penyelenggaraan pemilu itu menjamin nilai-nilai keadilan dan berkemanusiaan. Konsepsi trial and error tidak berarti sekadar mencoba tanpa mempertimbangkan segala kemungkinan yang ada, tetapi harus dengan pemikiran matang dan didukung oleh fakta empiris yang dikehendaki masyarakat.
Konflik kepentingan
Harus diakui, salah satu kelemahan yang terjadi di semua lembaga negara kita (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) adalah hanya mendasarkan pertimbangannya pada apa yang terbaik menurut ilmu dan pengalaman mereka tanpa melihat apa yang diinginkan rakyat. Dalam konteks ini, sejatinya kita dengan telanjang bulat mengangkangi demokrasi itu sendiri karena bangunan demokrasi adalah atas dasar kehendak rakyat semata.
Keluarnya Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, PPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang melarang bekas koruptor, teroris, dan narkotika mencalonkan diri harus dimaknai sebagai salah satu bentuk terobosan ”berani” yang dilakukan KPU.
Dikatakan demikian karena selama ini positivisasi suatu norma harus melalui undang-undang atau peraturan daerah, di mana keduanya legislator pusat dan daerah. Namun, dengan berbagai argumen, KPU tetap mengeluarkan PKPU ini, bahkan dinyatakan berlaku meskipun belum ditempatkan pada berita negara oleh Menteri Hukum dan HAM RI.
Secara substansial, jika memperhatikan gerakan yang dilakukan civil society, sesungguhnya tidak ada masalah, justru yang mempermasalahkan ialah pihak yang berkepentingan, mulai dari calon yang bersangkutan hingga partai politik pengusungnya.
Masalah selesai karena KPU tetap memaksakan PKPU tetap berlaku dan mengembalikan berkas calon yang pernah terjerat perkara korupsi. KPU juga mempersilakan jika ada pihak yang merasa haknya dilanggar oleh PKPU ini untuk melakukan uji materi ke Mahkamah Agung.
Masalah kembali muncul karena pada pertengahan Agustus lalu, Bawaslu di tiga daerah, yaitu Bawaslu Aceh, Bawaslu Toraja Utara, dan Bawaslu Sulawesi Utara, menganulir PKPU No 20/2018 ini dan memerintahkan agar KPU setempat mengesahkan pencalonan beberapa calon anggota legislatif bekas koruptor.
Bawaslu beralasan bahwa PKPU itu tidak mengikat kelembagaan Bawaslu karena, sebagaimana halnya dengan KPU, Bawaslu adalah lembaga mandiri dan independen. Masalah ini sangat rumit, ditambah lagi karena dalam waktu singkat proses penetapan calon harus segera diselesaikan. Di sisi lain, atas putusan Bawaslu ini, berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, tidak ada ruang bagi KPU untuk mengajukan banding atas putusan Bawaslu.
KPU berada pada dua pilihan yang sama-sama tidak mudah dan memiliki konsekuensi hukum, pertama mengesampingkan putusan Bawaslu, tetapi sekaligus juga berarti mengesampingkan UU No 7/2017, atau kedua, menjalankan putusan Bawaslu dengan melanggar peraturan yang telah dibuatnya sendiri. Polemik kepentingan antara KPU dan Bawaslu ini menjadi tantangan bagi sistem ketatanegaraan kita.
Solusi
Sayangnya, masalah ini semakin rumit karena sistem ketatanegaraan kita tidak memberikan kewenangan bagi lembaga negara mana pun yang berhak untuk menyelesaikan polemik yang terjadi antara KPU dan Bawaslu ini. Mahkamah Konstitusi (MK) memang diberikan kewenangan untuk memutus sengketa kewenangan antarlembaga negara, tetapi lembaga negara yang bersengketa harus yang kewenangannya diberikan undang-undang dasar (UUD).
Adapun dalam konteks ini, meskipun KPU adalah lembaga negara yang kewenangannya di atur dalam UUD, Bawaslu hanya didasarkan pada UU sehingga polemik ini tak dapat di selesaikan dalam persidangan di MK. Jalan satu-satunya yang mungkin ditempuh adalah dengan bertemu bersama di antara dua lembaga negara ini. Presiden sebagai kepala negara bisa saja menginisiasi, bukan untuk mengintervensi, melainkan menemukan kesepakatan bersama karena pemilu sejatinya bicara tentang kepentingan dan keinginan rakyat.
Despan Heryansyah Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK); Mahasiswa Program Doktor Fakultas Hukum UII, Yogyakarta
Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 28 Agustus 2018 di halaman 6 dengan judul “Polemik KPU Versus Bawaslu”. https://kompas.id/baca/opini/2018/08/28/polemik-kpu-versus-bawaslu/