Menjelang pelaksanaan tahapan pencalonan dari partai politik dan/atau gabungan partai politik pada Pilkada Serentak 2020, isu politik dinasti mulai mencuat ke permukaan publik. Salah satunya adalah dengan muncul majunya anak sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka dalam bursa pencalonan Walikota Solo. Selain Gibran, ada juga menantu Jokowi yakni Bobby Nasution yang kabarnya akan mencalonkan diri di pemilihan Walikota Medan.
Memang tidak ada yang melarang siapapun untuk turut serta berpartisipasi dalam pilkada, karena yang menentukan kemenangan adalah rakyat, bukan faktor ditunjuk. Sehingga sah-sah saja ketika seseorang mencalonkan diri dalam perhelatan elektoral lokal secara aspek legal prosedural. Tapi, tentu saja tidak hanya sekedar itu, ada juga aspek substansial moral yang harus diperhatikan, di mana hal ini terkait bagaimana jabatan publik tidak melulu dikuasai oleh sekelompok orang, keluarga atau kerabat.
Jabatan publik itu memberikan penekanan perlu adanya sirkulasi politik. Sejatinya pergantian kepemimpinan tersebut tidak dimonopoli. Maka, dianggap penting adanya aturan hukum yang kuat sebagai upaya membatasi lahirnya kekerabatan atau politik dinasti. Sebab, tumbuh suburnya wajah kekerabatan politik di tingkat daerah semakin menguat sejak bergulirnya reformasi politik dengan runtuhnya rezim ototarian Orde Baru pada 1998 yang ditandai dengan turun temurunnya perluasan jaringan kekuasaan kalangan keluarga yang menduduki jabatan-jabatan politik.
Padahal, sempat ada aturan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah yang melarang calon kepala daerah memiliki hubungan kerabat dengan petahana. Sayangnya, aturan ini tidak dapat bertahan lama karena regulasi ini sempat dilakukan uji materi terhadap pasal tersebut. Setelah melewati proses peradilan, Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal tersebut.
Kuatnya Oligarki
Satu sisi, transisi demokrasi memang membuka ruang partisipasi yang begitu lebar di kalangan masyarakat dan memberikan peluang untuk merebut posisi/jabatan politik. Namun di sisi lain, terjadi adanya oligarki di tubuh partai politik yang menyebabkan mekanisme kandidasi dan pencalonan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Fungsi rekrutmen ini tidak berjalan dengan baik hampir di semua parpol pada era reformasi. Seringkali kita saksikan partai-partai yang memiliki suara besar bahkan tidak mencalonkan kadernya untuk menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah. Partai politik justru mengusung pejabat birokrasi dan pengusaha yang memiliki modal kuat.
Pencalonan kandidat oleh partai politik ternyata berdasarkan keinginan elite partai, bukan melalui mekanisme yang demokratis dengan mempertimbangkan kemampuan dan integritas calon. Secara bersamaan, dinasti politik terus membangun jejaring kekuasaannya dengan kuat agar tetap dapat mempertahankan kekuasaannya dalam tubuh partai baik di tingkat daerah. Sehingga, dapat dipastikan dinasti politik mampu menguasai dan mematikan demokrasi dalam partai politik.
Bahkan, hanya beberapa bulan saja memiiliki Kartu Tanda Anggota (KTA) partai seperti Gibran, sudah bisa mendapatkan tiket untuk mendaftarkan diri sebagai calon kepala daerah. Penulis sendiri sempat mempertanyakan ketika Gibran bukan anak sulung presiden, apakah PDIP akan tetap mencalonkan sebagai bakal pasangan calon Walikota Solo? Atau jika Bobby Nasution bukan menantu Jokowi, apakah akan tetap masuk dalam bursa pencalonan Walikota Medan? Keikutsertaan anak dan menantu presiden dalam pilkada benar-benar memperlihatkan hadirnya politik dinasti dalam demokrasi.
Hal ini juga dinilai mencederai keadilan masyarakat. Sebab, bagaimanapun juga posisi Jokowi akan sangat berdampak pada elektabilitas anak atau menantunya yang mencalonkan, setidaknya calon tidak perlu bersusah payah untuk memperkenalkan diri kepada masyarakat. Loyalis Jokowi tentu saja akan memberikan dukungan secara penuh meski tidak ikut berkampanye. Penulis melihat ketika ada dinasti politik akan menyebabkan ketidakadilan (unfairness) dalam kontestasi.
Studi Ernesto Dal Bo, Pedro Dal Bo dan Jason Snyder (2007) tentang dinasti politik di Kongres Amerika Serikat menunjukkan ada korelasi antara dinasti politik dan kompetensi politik. Semakin marak praktik politik dinasti akan berbanding lurus dengan kompetisi politik yang tidak sehat. Dinasti politik juga diyakini melahirkan oligarki kekuasaan.
Menurut Jeffrey Winters, salah seorang ilmuwan politik AS di Universitas Northwestern, oligarki muncul karena konsentrasi kekayaan yang ada sejak zaman kuno. Jika politik dinasti ini terus menguat, apalagi tidak diimbangi dengan kompetensi politik yang sehat tidak menutup kemungkinan akan melanggengkan oligarki dan pembusukan demokrasi.
Ketika peristiwa ini terjadi dalam perhelatan elektoral lokal sebelumnya, maka kita semua melihat hampir tak ada teladan baik bagi pengelolaan daerah yang dipimpin oleh dinasti politik. Semua yang disuguhkan kepada rakyat selalu mengalami banalitas korupsi dan pengkhianatan mandat kekuasaan rakyat.
Kenali Rekam Jejak Calon
Mengenal rekam jejak pasangan calon menjadi hal yang mutlak untuk dilakukan oleh setiap pemilih. Apakah calon kepala daerah layak atau tidak dipilih. Dalam hal ini, KPU harus memberikan akses informasi yang seluas-luasnya kepada masyarakat agar tidak menghambat para pemilih untuk mengenal visi misi calon lebih dalam.
Perlu adanya transparansi data diri calon kepala daerah. Ini menjadi kunci menjawab kebutuhan publik. Termasuk juga mengumunkan apakah calon bersih atau tidak dari korupsi, memiliki kekerabatan dengan para elite politik, siapa saja partai politik pengusungnya, dan lain-lain. Masyarakat berhak mengetahui biodata ini. Selama tidak ada hal yang bisa mengancam rahasia negara, sampaikan saja kepada publik. Pemilih juga diharapkan dapat aktif mencari tahu tentang program yang diusung calon agar dapat menghasilkan pemimpin yang dapat mensejahterakan rakyat dan memutus proses kandidasi partai yang instan dan tidak sehat. []
NENI NUR HAYATI
Direktur Eksekutif Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP), Aktivis Nasyiatul Aisyiyah