Sistem proporsional terbuka dan sistem proporsional tertutup dinilai tak begitu berpengaruh pada praktik politik uang dan keterwakilan perempuan. Dalam hal politik uang, kedua varian proporsional ini memiliki celah terjadinya politik uang. Dalam hal keterwakilan perempuan, proporsional terbuka dan tertutup tak akan menjamin keterwakilan perempuan.
“Kalau dikatakan sistem proporsional terbuka mendorong terjadinya politik uang, sebenarnya di sistem proporsional tertutup ada juga. Hanya saja, politik uangnya berpindah dari caleg kepada pemilih menjadi caleg kepada partai. Biasanya ini disebut dengan mahar politik,” jelas kandidat doktor University of Michigan, Jennifer Frentasia, dalam diskusi “Credit Claiming Conditions and Constituency Visits”, di Tebet, Jakarta Selatan (13/1).
Selanjutnya, dalam hal keterwakilan perempuan, menurut Jennifer, bukan sistem proporsional terbuka atau tertutup yang menjamin keterwakilan perempuan, tetapi kesadaran partai dan masyarakat terhadap politik perempuan. Dalam sistem proporsional terbuka, apabila partai telah menerapkan kebijakan afirmatif perempuan dengan menempatkan sejumlah perempuan di daftar calon, namun masyarakat tak ramah perempuan, keterwakilan perempuan di parlemen sulit terwujud. Dalam sistem proporsional tertutup, apabila partai tak ramah perempuan atau belum memiliki kader perempuan yang berkualitas, keterwakilan perempuan pun sulit terwujud.
“Yang menentukan keterwakilan perempuan bukan sistem proporsioanl terbuka atau tertutup, tetapi partai dan masyarakat yang women friendly,” tukas Jennifer.
Jennifer mengatakan bahwa untuk kasus Indonesia, yakni satu daerah pemilihan (dapil) untuk tiga hingga delapan atau sepuluh kursi, kemungkinan besar pemilih akan bingung menghadapi banyaknya pilihan caleg di daftar calon, apabila menerapkan sistem proporsional terbuka. Pemilih, menurutnya, akan cenderung memilih partai.