Fenomena politisi pindah-pindah partai politik memunculkan pertanyaan. Apakah politisi seperti ini bisa menjadi wakil rakyat yang benar-benar mewakili rakyat? Kepentingan bangsa, negara, dan rakyatkah yang ada di benak politisi seperti ini? Apakah kita bisa menambatkan harapan kepada mereka? Apakah munculnya fenomena ini sepenuhnya dipengaruhi oleh karakter politisi? Ataukah ada faktor parpol itu sendiri? Ataukah ada faktor arah koalisi parpol dan dukungan terhadap calon presiden? Apakah politisi seperti ini layak dipilih?
Penyebab pindah
Setidaknya terdapat lima penyebab munculnya seorang politisi berpindah parpol. Pertama, konflik internal parpol. Di Partai Hanura, misalnya, anggota legislatif Hanura yang ada di kubu yang tidak diakui negara memutuskan untuk pindah parpol.
Kedua, pindahnya seorang politikus bisa diakibatkan perasaan tidak nyaman dengan perilaku orang-orang di parpol tersebut terhadapnya. Rongrongan yang datang dari berbagai pihak di parpol selama ia menjadi wakil rakyat dari parpol tersebut memaksa untuk melirik kendaraan politik lain.
Ketiga, parpol lain lebih memungkinkannya menjadi calon anggota legislatif (caleg) nomor urut kecil. Dalam sistem pemilu proporsional terbuka seperti sekarang, sebenarnya nomor urut sudah tidak penting lagi. Meski demikian, nomor urut kecil masih sering diperebutkan, terutama oleh mereka yang sangat oportunistis.
Keempat, politisi yang pindah parpol karena memperkirakan parpolnya sulit untuk lolos ambang batas parlemen sebesar 4 persen. Parpol yang sedang buruk citranya cenderung ditinggalkan rakyat. Percuma saja seorang politisi meraih suara banyak jika parpolnya gagal melampaui ambang batas.
Kelima, berpindah parpol karena berbeda sikap dengan haluan koalisi parpol. Politisi yang berbeda sikap dengan parpol dalam dukungan terhadap calon presiden, misalnya, akan memutuskan pindah ke parpol yang sehaluan.
Bukan tiang penyangga
Meskipun tidak sepenuhnya buruk, seorang politikus yang sering pindah-pindah parpol mencerminkan diri yang lemah. Seorang politikus pindah-pindah parpol mencerminkan bukan pribadi yang kuat, kecuali untuk penyebab kelima, yaitu sikap terhadap haluan koalisi parpol dan dukungan terhadap calon presiden. Umumnya politisi yang senang pindah-pindah parpol bukan sebagai ”tiang penyangga”, melainkan sebagai orang yang bergelantungan mencari pegangan. Ia bukan sosok yang dicari untuk dipilih oleh pemilih, melainkan seperti pedagang kaki lima yang menggelar dagangannya bahkan sampai ke trotoar yang ramai pejalan kaki agar dilihat dan dibeli.
Politikus ”kutu loncat” ini mencari penghidupan dalam politik. Ia melihat politik sebagai semata karier. Alih-alih eksistensinya di politik menjadi cahaya penerang, Ia berusaha mempertahankan dirinya tetap eksis dan diterangi kekuasaan.
Dari cermin bening di atas tergambar bahwa politikus tersebut sesungguhnya tidak sedang memperjuangkan hal besar, tetapi memperjuangkan hidupnya sendiri. Politik semata dimanfaatkannya untuk mencari kursi kekuasaan dan kekayaan, tidak ada idealisme dan kepentingan umum yang diperjuangkan. Orang seperti ini cenderung bukan orang yang memikirkan kepentingan bangsa dan negara. Ia bukan orang yang telah melampaui dirinya. Ia sangat jauh dari ciri seorang negarawan. Alih-alih sebagai seorang negarawan, ia cenderung memanfaatkan negara untuk memuaskan hasrat dan libido politiknya.
Apa pun alasan di balik aksi pindah-pindah parpol, sesungguhnya ia bukanlah orang besar. Ia bukan orang yang bisa menjadi harapan. Jika terpilih menjadi wakil rakyat, kita akan melihat langkah-langkahnya didorong oleh motif-motif kepentingan pribadi dan kelompok. Atau mungkin kita tidak akan melihat langkah-langkahnya. Kita mungkin tidak akan mendengar suaranya. Alih-alih mampu bersuara, ia akan hanya diam, mendengar, tertidur, atau tidak menghadiri rapat-rapat.
Pilih yang pasti-pasti
Siapa caleg yang layak dipilih? Apakah caleg yang pindah-pindah parpol layak dipilih? Ataukah aksinya pindah-pindah parpol merupakan tanda bahwa ia tidak layak dipilih. Rekam jejak merupakan hal yang harus menjadi bahan pertimbangan dalam memilih. Jika ia caleg petahana, wakil rakyat yang mencalonkan diri kembali, ketahui rekam jejaknya selama di DPR atau DPRD. Apakah ia adalah wakil rakyat yang selama ini vokal memperjuangkan kepentingan rakyat, ataukah ia terdengar tetapi dalam upaya mengejar kepentingan pribadi atau kelompok politiknya, ataukah ia sama sekali tidak pernah terdengar suaranya.
Yang paling buruk adalah anggota legislatif yang tak pernah terdengar suaranya, tetapi muncul ke publik tiba-tiba karena adanya masalah keluarga, percintaan, atau lebih parah, berurusan dengan KPK. Orang seperti ini tak layak dipilih lagi.
Politisi pindah-pindah parpol merupakan ciri politisi yang dikuasai sikap oportunistis. Namun bisa juga ia layak dipilih jika rekam jejaknya menunjukkan kepedulian kepada rakyat. Selain itu, lihat apakah ia telah menorehkan prestasi. Sebagai contoh, jika ia misalnya pernah mengembangkan ekonomi rakyat di suatu tempat di daerah pemilihannya, atau pernah memperbaiki sistem pengairan pertanian di daerah pemilihannya, ia layak dipilih. Sikapnya yang pragmatis dan oportunistis dapat diimbangi dengan kemanfaatan yang ditebarkan.
Namun, jika politisi pragmatis dan oportunistis ini selama ini tidak pernah terdengar kinerjanya dalam memperjuangkan rakyat, atau bahkan tidak pernah terdengar suaranya karena tidak memiliki kemampuan sebagai wakil rakyat, orang seperti ini tidak layak dipilih.
Dari uraian di atas, kata kunci apakah seorang caleg layak dipilih adalah rekam jejak. Pilih yang pasti-pasti. Hanya orang yang jelas kapasitas, kapabilitas, dan integritasnya yang layak dipilih. Dengan demikian, kita bisa memiliki harapan adanya wakil rakyat yang mau dan mampu memperjuangkan kepentingan rakyat, bangsa, dan negara.
Toto Sugiarto Direktur Eksekutif Riset Indonesia; Analis pada Exposit Strategic; Dosen Luar Biasa pada Universitas Paramadina