Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan tetap memberlakukan ambang batas pencalonan presiden. Untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden, partai politik harus memiliki 20 persen kursi parlemen atau 25 persen perolehan suara di Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019. Posisi partai baru di dalam koalisi pencalonan presiden dan wakil presiden dipertanyakan, sebab partai baru tak memiliki perolehan suara atau kursi.
“Koalisi ini kan isinya sama-sama peserta pemilu. Lantas, bagaimana posisi mereka di dalam pencalonan presiden? Jangan-jangan misal dia ikut ke NasDem, gak dihitung,” tukas Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Veri Junaidi, pada diskusi “Membaca Arah Politik Pasca Putusan MK Soal Presidensial Threshold” di Tebet, Jakarta Selatan (12/1).
Senada dengan Veri, Wakil Sekjen Partai Amanat Nasional (PAN), Fikri Yasin, mengatakan pembentukan koalisi di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 di tengah ambang batas pencalonan presiden bukan perkara mudah. Secara langsung, MK membiarkan adanya ketidaksetaraan di antara sesama partai politik peserta pemilu.
“Partai yang baru nanti, ngajak koalisi duduk bareng ekualnya gimana? Kalau kita istilahkan mereka dengan anak bawang, marah gak? Kalau pendukung saja, marah gak? Soalnya mereka kan mau masuk koalisi tapi gak punya portofolio,” kata Fikri.
Fikri menegaskan, ambang batas pencalonan presiden menutup ruang pertandingan 2019. PAN sejak awal menolak ambang batas pencalonan presiden.