December 14, 2024

Potensi Kampanye Negatif di Masa Tenang Diprediksi Meningkat

Koordinator nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Masykuruddin Hafidz, dalam konferensi pers “Antisipasi Masa Tenang dan Persiapan Hari Pemungutan Suara”, mengatakan bahwa menjelang hari pemungutan suara pada 15 Februari 2017 di 101 daerah, potensi kampanye negatif cederung meningkat. Berdasarkan pengalaman pemantauan JPPR di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2015, kampanye negatif meningkat pada masa tenang.

The real kampanye justru terjadi di masa tenang, dengan berbagai metode, terutama di media sosial yang tidak bisa dibendung,” kata Masykur di Media Center Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Menteng, Jakarta Selatan (7/2)

Masykur kemudian mengemukakan enam potensi pelanggaran yang dapat terjadi menjelang pemungutan suara. Satu, maraknya ujaran kebencian dan berita hoax di media sosial. Menurut Masykur, kecepatan kampanye hitam yang dilakukan di media sosial tak bisa diimbangi dengan baik oleh pengawasan Bawaslu.

“Yang dilakukan Bawaslu dalam mengawasi penyebaran berita bohong ini tidak bisa menjangkau pelaku penyebar berita bohong. Berita bohong menyebar dalam kecepatan diluar kemampuan Bawaslu,” tegas Masykur.

Dua, logistik pemungutan suara yang bermasalah. Pada dasarnya, logistik mesti sampai di kelurahan  tepat waktu, tepat jumlah, dan tepat kualitas. Logistik tak boleh datang terlambat atau terlalu cepat. Logistik yang datang terlalu cepat menimbulkan tiga potensi yang patut diwaspadai, yaitu, keamanan, tempat penyimpanan yang dikhawatirkan mengurangi kualitas logistik, dan terganggunya independensi penyelenggara pemilu.

“Siapa yang bisa jamin logistik yang masih disegel itu tak dibuka oleh pihak mana pun? Kan harus ada yang jaga. Tempat penyimpanan pun harus kering, tidak kena air, agar logistik tidak rusak,” jelas Masykur.

Tiga, alat peraga kampanye yang masih muncul di tempat-tempat publik. Untuk mengantisipasi hal ini, masyarakat mesti membantu Bawaslu untuk membersihkan semua alat peraga kampanye di tempat-tempat publik mulai 12 Februari 2017.

“Pembersihan alat peraga kampanye ini penting untuk dipastikan, karena kalau masih ada alat peraga yang terpampang di tempat publik, biasanya Bawaslu yang disalahin. Dibilangnya Bawaslu tidak adil mencopot alat peraga kampanye,” kata Masykur.

Empat, politik uang. Di daerah dengan kompetisi pasangan calon (paslon) yang ketat, politik uang akan semakin tinggi. Masykur menjelaskan bahwa bentuk politik uang saat ini beragam dan terselubung. “Sekarang bentuknya bukan hanya uang dan barang lagi, itu primitif! Bentuknya sekarang bisa pulsa atau barang publik seperti alat olahraga dan alat keagamaan.”

Lima, potensi masyarakat kehilangan hak pilih akibat penggunaan Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik sebagai basis data Daftar Pemilih Tetap (DPT). Penyelenggara pemilu dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) harus memastikan tak ada satu pun warga yang kehilangan hak pilih karena tak berhasil mendapatkan Surat Keterangan dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil).

“Masalah DPT ini yang paling kuat. Kemendagri harus bertanggungjawab, karena Kemendagri sumber yang menyebabkan munculnya aturan ini,” tukas Masykur.

Enam, dana kampanye yang tak transparan. Pada 12 Februari 2017, semua paslon mesti menyerahkan Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU).  LPPDK tak bisa dianggap remeh, sebab paslon yang tak transparan melaporkan dana kampanye dapat digugurkan.

“Kampanye yang dibiayai oleh pihak luar pun harus dimasukkan, karena itu kan untuk kepentingan paslon. Semua yang diterima dan dikeluarkan harus dicatat dengan rinci. Siapkan dari sekarang,” tutup Masykur.