Berebut suara kaum muda! Itu yang sedang dilakukan oleh partai-partai politik menuju medan perang Pemilu 2019. Salah satunya Partai Solidaritas Indonesia (PSI), partai baru yang mengidentikkan diri dengan kaum muda dan keterbukaan.
Fenomena ini, menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, bukan hal yang tak wajar. Suara pemilih pemula pada Pilkada 2018 mencapai lebih dari sepuluh juta. Angka ini lebih besar dari perolehan suara Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) pada Pemilu 2014.
“Karena jumlah mereka yang besar ini, maka posisi kaum muda mempengaruhi. Penting untuk kemenangan partai, maka dia jadi sorotan,” kata Titi pada diskusi “Cerdas Memilih, Penting” di Perpustakaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Sudirman, Jakarta Selatan (7/5).
Melibatkan kaum muda dalam proses politik merupakan hal penting tetapi tidak mudah. Kaum muda bersikap dinamis, memiliki ide-ide baru, idealis, antikorupsi, dan kritis. Kaum muda seringkali enggan membicarakan politik karena wajah politik Indonesia yang buruk, politik masih menggunakan bahasa yang elitis, dan tak menyentuh persoalan sehari-hari.
Menurut Titi, agar kaum muda mau terlibat aktif dalam politik, orang dewasa harus membangun dialog dan berbicara dengan “bahasa” kaum muda. Politik merupakan ruang yang tak menghendaki seorang aktor untuk melakukan monolog, melainkan dialog.
“Politisi elit kita itu biasanya monolog, mereka maunya didengar. Padahal, politik itu adalah dialog. Nah, untuk menyasar kaum muda, sentuh mereka dengan persoalan-persoalan yang dekat dengan mereka.”