Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, melalui Sekretaris Umum, Abdul Mu’ti, mengumumkan dukungan agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) lebih mempertimbangkan sistem pemilu proporsional tertutup. Tujuannya yakni, agar partai poltik menyeleksi calon anggota legislatif dengan lebih baik dan berdasarkan kualitas calon, bukan semata popularitas. Sistem kaderisasi partai, dalam hal ini, akan lebih diperhatikan.
Selain itu, Muhammadiyah juga mendukung sistem proporsional terbuka terbatas versi Pemerintah. Melalui sistem ini, calon yang memenuhi Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) tetapi tidak di nomor urut atas, tetap bisa terpilih. Sistem proporsional terbuka terbatas dapat mempertemukan direct representative pemilih dengan misi mengurangi politik uang dari calon kepada masyarakat.
“Kedua opsi itu kami dukung karena kami menilai itu yang lebih mendorong terwujudnya pemilu yang jujurd, adil, dan bersih. Muhammadiyah tidak ingin Pemilu 2019 seperti Pemilu 2004 yang dikatakan banyak orang sebagai pemilu yang paling tidak bisa dipertanggungjawabkan,” jelas Abdul, pada konferensi pers di Menteng, Jakarta Pusat (9/6).
Sistem pemilu proporsional terbuka seperti yang diterapkan pada Pemilu 2004 dinilai telah menimbulkan maraknya politik uang dan kanibalisme politik, yakni persaingan di antara calon di satu partai yang sama. Pragmatisme partai politik yang dilakukan dengan mengusung calon yang populer, dalam sistem proporsional terbuka, juga menguat.
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Bachtiar Effendy, yang juga meghadiri konferensi pers, mengatakan bahwa Muhammadiyah menjunjung tinggi moralitas demokrasi. Sistem pemilu yang baik mesti mampu meminimalisir praktek politik uang. Sistem distrik, menurut Bachtiar, merupakan sistem pemilu ideal yang dapat dipertimbangkan di masa yang akan datang.
“Yang ideal itu sebenarnya sistem distrik, tapi dicurigai menguntungkan partai-partai besar. Itu gak terbukti dan sekarang fluktuasi besar kecilnya partai juga berubah-ubah. Pada pokoknya, yang penting dari sistem pemilu adalah kemampuannya mengurangi transaksi negatif dan politik uang,” jelas Bachtiar.