Setelah melalui dinamika yang cukup panjang sejak dibentuknya pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu pada 28 Oktober 2016, akhirnya RUU tersebut baru dapat disahkan secara aklamasi pada tanggal 21 Juli 2017 dalam rapat paripurna DPR-RI meski rapat tersebut masih diwarnai dengan aksi walk-out 4 fraksi di DPR yaitu fraksi Gerindra, fraksi PAN, fraksi Demokrat dan fraksi PKS. Secara umum Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu tersebut mengatur tentang penyelenggara pemilu, penyelenggaraan pemilihan umum legislatif, dan penyelenggaraan pemilihan umum presiden dan wakil presiden.
Beberapa perubahan signifikan yang sempat menjadi isu krusial pembahasan RUU diantaranya menyangkut kedudukan dan kewenangan penyelenggara pemilu. LembagaPengawas Pemilu sebagai salah satu unsur penyelenggara pemilu menjadi lembaga penyelenggara yang semakin kuat kedudukannya dalam undang-undang tersebut.
Secara struktural kini pembentukan Badan Pengawas Pemilu yang bersifat tetap atau permanen akan sampai ke tingkat kabupaten/kota seperti struktur lembaga KPU yang sejak lama telah bersifat tetap sampai ke tingkat kabupaten/kota. Penerapan peningkatan struktur kelembagaan Bawaslu yang diamanatkan dalam undang-undang tersebut paling cepat baru dapat diterapkan setahun setelah Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu disahkan oleh DPR. Bersamaan itu pula penambahan jumlah anggota Bawaslu tingkat provinsi dan kabupaten/kota dari 3 menjadi 5-7 komisioner akan disesuaikan dengan tingkat coverage yang diawasi.
Sementara itu untuk pengawas ad-hoc dari tingkat kecamatan sampai TPS tetap diberlakukan seperti pada undang-udang penyelenggara pemilu yang berlaku sebelumnya. Penguatan kelembagaan pengawas pemilu dirasakan perlu dan mendesak karena didorong oleh sebuah komitmen yang kuat dalam upaya meningkatkan peran dan fungsi pengawas pemilu di setiap level tingkatan struktur dalam mengawal proses penyelenggaraan pemilu agar benar-benar bertumpu pada asas-asas dan prinsip penyelenggaraan pemilu.
Di periode kepemimpinan Bawaslu RI 2017-2022 lembaga ini meluncurkan sebuah tagline atau slogan baru yakni ‘Bersama Rakyat Awasi Pemilu, Bersama Bawaslu Tegakkan Keadilan Pemilu’. Slogan ini diharapkan tidak saja sebagai pemicu energi dan motivasi seluruh jajaran tetapi harus menjadi arah penting penguatan strategi pengawasan pemilu saat ini hingga di masa yang akan datang Bawaslu kelak menjadi lembaga supreme dalam pengawasan proses penyelenggaraan pemilu dan penegakan hukum pemilu. Pencegahan dan penindakan pelanggaran pemilu yang selama ini menjadi core strategy pengawasan yang diterapkan oleh Bawaslu kini menghadapi tantangan yang semakin dinamis dan canggih.
Isu-isu yang sempat santer terdengar tentang bentuk-bentuk pelanggaran pemilu yang makin berkembang akhir-akhir ini bahkan sampai dengan isu pemanfaatan teknologi canggih sebagai modus kecurangan pemilu harus disikapi secara arif oleh Bawaslu untuk terus mengembangkan strategi pengawasannya. Program-program pengawasan yang melibatkan berbagai kelompok dan komunitas masyarakat yang terus menerus digencarkan dalam berbagai event perlu terus digagas dan dikreasikan. Mengingat masih rendahnya peran serta masyarakat untuk terlibat secara partisipatif dalam pengawasan pemilu yang dibuktikan dengan masih tingginya grafik kesenjangan antara laporan masyarakat dan temuan pengawas pemilu, maka juga sudah sewajarnya Bawaslu perlu mempertegas eksistensi program pengawasan partisipatifnya.
Dengan bertambahnya kewenangan-kewenangan strategis yang diamanatkan undang-undang kepada Bawaslu seperti kewenangan untuk menerima laporan, memeriksa, dan memutus pelanggaran TSM (Terstruktur, Sistematis, dan Masif), hal tersebut menjadi tantangan bagi lembaga ini untuk memaksimalkan peran dan fungsi yudikatifnya untuk menciptakan sebuah formulasi hukum yang tepat sekaligus mengukur dan mengantisipasi dampak sosial politik atas penerapan sanksi pembatalan calon atau peserta pemilihan ditengah suasana dengan tensi politik yang bergejolak. Begitupun halnya dengan kewenangan untuk menerima dan memutus permohonan sengketa pemilihan juga menuntut Bawaslu di tengah waktu tahapan yang berhimpit-himpitan untuk segera memastikan hadirnya para pengawas pemilu di daerah yang sanggup berperan sebagai mediator dan adjudikator sengketa pemilihan yang benar-benar terlatih.
Disamping beragam tantangan di atas, Bawaslu juga terus berupaya untuk secara serius menemukan solusi bagi problem dan tantangan berikut ini:
- Capacity Building Bawaslu Kabupaten/Kota
Penguatan struktur kelembagaan pengawas pemilu mempunyai arti penting tidak saja terhadap peningkatan peran dan fungsi pengawas pemilihan di daerah, namun juga memberikan efek positif terhadap aspek psikologis para pengawas di daerah yang selama ini memiliki masalah kepercayaan diri dengan fungsi dan kewenangannya yang bersifat ad-hoc. Perubahan status kelembagaan Panwaslu yang kini bersifat tetap dan berubah nama menjadi Bawaslu memunculkan tantangan baru pula berupa penyiapan dan penguatan aspek sumber daya manusia.
Tahapan pemilihan sudah di depan mata dan banyak beban tanggungjawab yang akan bertumpu di level kabupaten/kota di awal tahapan, ditambah lagi belum terbentuknya lembaga sekertariat yang harus dikepalai oleh pejabat setingkat eselon III. Kondisi ini benar-benar memaksa lembaga ini untuk berjibaku dengan program-program peningkatan kapasitas pengawas pemilihan dari level menengah sampai ke tingkat bawah.
Tidak kalah pentingnya dalam upaya menekan persoalan SDM yang sangat mungkin terjadi maka Bawaslu perlu menerapkan sistem meritokrasi dengan mempertimbangkan aspek-aspek yang dimiliki oleh calon-calon komisionernya yang akan direkrut di daerah, seperti kemampuan teknis dan verbal, pengalaman, mental kepengawasan, keahlian, dan terutama integritas. Kombinasi gabungan berdasarkan bidang keilmuan atau latar pengalaman pada unsur keanggotaan Bawaslu juga penting untuk diadaptasikan. Bidang keahlian hukum, komunikasi, politik, kepemiluan, pengalaman keorganisasian dan pengalaman birokrasi akan menjadi kombinasi yang ideal bila disesuaikan dengan kebutuhan divisi yang ada.
- Pertaruhan Kepercayaan Publik Bawaslu
Bawaslu dengan kewenangannya yang semakin besar sebagaimana yang telah diamanatkan undang-undang maka akan diiringi pula dengan meningkatnya ekspektasi publik terhadap peran lembaga tersebut dalam mengawal pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Catatan sejarah pemilu di Indonesia tidak pernah lepas dari permasalahan dan pelanggaran yang kerap mencederai asas dan prinsip pemilu demokratis.
Oleh karena itu posisi Bawaslu akan sangat vital dalam upaya menciptakan kualitas legitimasi hasil pemilihan umum. Tingkat kepercayaan publik terhadap Bawaslu yang bertengger pada angka 71 persen berdasarkan hasil survey yang dirilis Lembaga Survei Indonesia (LSI) bekerja sama dengan lembaga survei asal Washington DC, IFES di penghujung tahun 2013 benar-benar dipertaruhkan pada tahun-tahun politik menjelang pilkada 2018 dan pemilu 2019.
Pada tahun 2016 KPU sudah merasakan terpuruknya tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga tersebut yang tesungkur di angka 44 persen yang boleh jadi berkorelasi dengan kualitas penyelenggaraan pemilu tahun 2014. Upaya yang paling efektif bagi Bawaslu untuk mempertahankan atau meningkatkan public trust terhadap lembaganya dengan kewenangan yang semakin besar ini tentu saja adalah dengan cara memanfaatkan ‘palu hukum’ pemilu yang ada dalam genggamannya secara tegas, berefek jera dan berdampak pada aspek pencegahan.
- Revitalisasi Tanggungjawab Fungsional Sekertariat
Selama ini ada anggapan umum bahwa dinamika eksternal pada event politik adalah tantangan terberat yang dihadapi Bawaslu sebagai salah satu unsur lembaga penyelenggara pemilu. Padahal sesungguhnya dinamika pada internal lembaga jauh lebih berat menguras energi pada jajarannya. Mencermati berbagai keputusan DKPP terhadap penyelenggara pemilu di daerah khususnya di jajaran Bawaslu/Panwaslu yang ternyata tidak saja menjatuhkan vonis pada komisioner tetapi juga pada para staf pegawai Bawaslu menggambarkan adanya beberapa persoalan di internal tubuh kelembagaan yang perlu dihadapi secara arif dan bijaksana.
Persoalan itu terutama menyangkut dosis kewenangan antara komisioner dan sekertariat lembaga yang kadang-kadang saling bergesekan. Hal ini diakibatkan oleh lemahnya pola komunikasi dan pemahaman terhadap wilayah kewenangan dan tanggungjawab masing-masing unsur. Bila tanggungjawab fungsional sekertariat dapat terkontrol dengan baik sehingga dapat dijalankan dengan tepat sesuai ketentuan maka tentunya akan cukup mendukung stabilitas kelembagaan yang diharapkan. Begitupun sebaliknya bila style leadership unsur-unsur pimpinan lembaga mampu menciptakan pola komunikasi dan koordinasi yang lebih luwes maka tentu saja akan memberi kontribusi bagi terwujudnya suasana internal kelembagaan yang kondusif.
Problem berikutnya juga adalah birokrasi sekertariat Bawaslu di daerah masih didominasi oleh staf pegawai yang diperbantukan oleh pemerintah daerah otonom. Kondisi ini membuka celah besar bagi elit dan aktor-aktor politik untuk memanfaatkannya demi kepentingan politik. Para staf yang ditempatkan oleh pemerintah daerah di lembaga Bawaslu memiliki kecenderugan untuk meng’komoditas’kan loyalitas mereka dengan materi atau jabatan kepada pihak-pihak tertentu.
Sense of belonging para staf daerah sangat lemah terhadap Bawaslu bahkan mereka dapat membentuk sel kubu tersendiri dalam tubuh lembaga sehingga sangat mengancam soliditas, harmonisasi dan netralitas lembaga penyelenggara pemilu. Bahkan hal ini sangat potensial memunculkan kotak-kotak diametral di tubuh internal lembaga. Penempatan pegawai organik Bawaslu RI adalah solusi teknis agar secara individu para staf sekertariat memiliki tanggungjawab vertikal pada lembaga tingkat pusat. []
NANANG MASAUDI
Koordinator Divisi Pencegahan Bawaslu Provinsi Gorontalo