October 8, 2024

Proyeksi Pemerintahan Sri Lanka Hasil Pemilu 2019

Seiring pemantauan bersama Asia Network for Free Election (Anfrel), saya bertanya kepada para warga berhak pilih di Sri Lanka. “Kebijakan apa yang anda harapkan?”

Banyak warga Sri Lanka berkeinginan adanya perbaikan bidang ekonomi dan pendidikan dengan cara menyediakan banyak lapangan kerja yang terhubung dengan lulusan dari pendidikan Sri Lanka. Warga menyadari, Sri Lanka punya masalah ekonomi dan pendidikan yang terhubung: pengangguran dan upah rendah.

Pertanyaannya, jika banyak warga berkeinginan itu, mengapa presiden terpilih Sri Lanka tak melakukannya? Pemilu Presiden 2019 merupakan pemilihan presiden secara langsung yang kedelapan kali sejak 1982 di Negeri Permata. Artinya, secara umum, warga tak merasakan perbaikan berarti dari presiden terpilih hasil pemilu.

Keadaan buruk pemerintahan semipresidensial Sri Lanka bisa diukur dari sejumlah indeks. Sri Lanka punya peringkat buruk dalam indeks demokrasi, antikorupsi transparansi (Transparency International), hak asasi manusia (HAM), keramahan terhadap keragaman, dan lainnya. Bahkan, merujuk indeks demokrasi Freedom House, Sri Lanka mengalami penurunan kualitas yang signifikan. Sejak Sri Lanka menerapkan pemilihan presiden secara langsung, negara beribu kota Sri Jayawardenepura Kotte ini memburuk statusnya, berubah dari “free” menjadi “partly free”, atau dalam istilah The Economist, dari “full democracy” menjadi “flawed democracy”.

Meski bersistem semipresidensial, keadaan Sri Lanka memenuhi kesimpulan Scott Mainwaring dalam “Presidential Multiparty: The Difficult Combination”. Pemilihan presiden secara langsung merupakan perpaduan yang tak sesuai dengan sistem kepartain multipartai di parlemen. Presiden terpilih hasil pemilu cenderung dihambat oleh keriuhan partai di parlemen saat ingin memenuhi janji kampanyenya. Keadaan sistemik ini merupakan jawaban dari pertanyaan warga yang memilih langsung presidennya, “mengapa presiden terpilih Sri Lanka tak melakukan kebijakan yang sesuai dengan keinginan warganya?”

Multipartai Sri Lanka

Sejak pemilu presiden langsung pertama pada 1982 hingga terakhir, presiden terpilih selalu bekerja dengan parlemen multipartai. Merujuk data Komisi Pemilihan (EC) Sri Lanka, ada banyak partai dan koalisi yang punya kursi dari total 225 kursi di parlemen. Sistem politik seperti ini lebih sulit untuk bekerja baik dibanding sistem politik Amerika Serikat yang memadukan presidensial dengan sistem kepartaian dwipartai (Democrat dan Republic).

Pemilu 2015 menghasilkan beberapa koalisi dan partai politik masuk parlemen. Koalisi The United National National Front for Good Governance (UNFGG) punya 106 kursi, The United People’s Freedom Alliance (UPFA) 95 kursi, dan Tamil National Alliance (TNA) 16 kursi. Lalu, ada partai politik Janatha Vimukthti Peramuda (JVP) 6 kursi, Eelam Peoples Democratic Party (EPDP)1 kursi.

Merujuk rumus Laakso dan Taagepera dengan istilah indeks ENPP (The effective number of parliamentary parties), sistem kepartaian parlemen Sri Lanka adalah 2,46. Berdasar angka ini, sistem kepartaian Sri Lanka adalah dwipartai, bukan multipartai. Seakan, sistem presidensial Sri Lanka berpadu dengan sistem kepartaian dwipartai layaknya sistem politik Amerika Serikat. Padahal, jika sejumlah koalisi dalam parlemen Sri Lanka dirinci berdasarkan kursi tiap partai politik, sistem kepartaian Sri Lanka adalah multipartai ekstrim.

Jika semua partai politik dalam parlemen Sri Lanka dihitung relevansinya dalam ENPP, maka sistem kepartaiannya menjadi multipartai dengan nilai indeks 5. Yang lebih mengkhawatirkan, sebagian besar dari total 21 partai politik dalam parlemen cenderung makin cair berideologi. Klaim platform “Kiri” bisa berkoalisi dengan partai dengan karakter cach all party. Partai dengan klaim politik identitas pun bisa mencari koalisi. Bahkan, berbagai partai dalam koalisi UPFA bisa terbelah pro-Sirisena/Rajapaksa.

Masalah nyata dari presidensial multipartai adalah dihadapkan pada persimpangan pemerintahan yang buruk. Belok kanan, pemerintah dihambat kerja nyata merealisasikan janji kampanye oleh keriuhan banyaknya partai politik di parlemen. Presiden yang memilih tikungan ini akan dirasakan tak bekerja oleh rakyat. Belok kiri, pemerintahan bisa berjalan dengan implementasi kebijakan yang buruk melalui politik dagang sapi. Presiden yang memilih tikungan ini akan membagi anggaran nasional kepada banyaknya partai politik melalui proyek pembangunan buruk kualitas karena dikorupsi elite partai politik.

Jadi, siapa pun yang terpilih, Sajith Premadasa, Gotabaya Rajapaksa, atau siapapun yang tak punya kepemimpinan kuat untuk berpihak kepada rakyat, kinerja pemerintahan akan cenderung tak jauh berbeda dengan pemerintahan sebelumnya. Rakyat Sri Lanka yang memilih langsung presidennya, akan kembali punya pemerintahan buruk: rendah kinerja atau korup? Pilih apa? []

USEP HASAN SADIKIN

Peneliti di Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)

Long Term Observer Asia Network for Free Election (Anfrel) Pemilu Presiden Sri Lanka 2019