August 8, 2024

Putusan MA No.44 P/HUM/2019 Akibat Kelalaian Pembentuk UU Pemilu

Putusan Mahkamah Agung (MA) No.44 P/HUM/2019 membatalkan ketentuan Pasal 3 ayat (7) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 5/2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum. Pasal 3 ayat (7) tersebut menyebutkan, “Dalam hal hanya terdapat 2 Pasangan Calon dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, KPU menetapkan Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak sebagai Pasangan Calon terpilih”.

Putusan MA termaksud ditujukan untuk perkara yang diajukan oleh Rachmawati Soekarno Putri dan tujuh pemohon lainnya. Perkara diregister pada 14 Mei 2019 dan dibacakan putusannya pada 28 Oktober 2019. Rachmawati dan lainnya menggugat konsistensi Pasal 3 ayat (7) PKPU No. 5/2019 terhadap Undang-Undang (UU)No. 42/2008.

Mengomentari Putusan MA tersebut, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menguraikan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan Putusan No.50/PUU-XII/2014 yang memutuskan bahwa Pasal 159 ayat (1) UU No.42/2008 bertentangan dengan UU Dasar (UUD) 1945 sepanjang tidak dimaknai berlaku untuk pemilihan presiden (pilpres) dengan dua pasangan calon (paslon). Dengan kata lain, dalam hal pilpres hanya terdapat dua paslon, maka paslon terpilih hanya perlu memperoleh suara 50 persen lebih 1. Syarat perolehan suara harus tersebar di 50 persen plus 1 provinsi dengan minimal 20 persen suara di provinsi tersebut sebagaimana tertuang di dalam Pasal 159 ayat (1) UU No.42/2008 tak diperlukan.

“UU No.42/2008 Pasal 159 ayat (1) itu diduplikasi sama persis dengan Pasal 6A ayat (3) UUD 1945. Lalu, pasal 159 ayat (1) ini diuji ke MK oleh Heru Widodo, Muhammad Asrun dkk jelang Pemilu 2014. Karena waktu itu, paslon kita hanya ada dua. Kalau ada syarat sebaran, bisa-bisa pemilu gak selesai-selesai. Lalu MK memutuskan Pasal 159 ayat (1) UU No.42/2008 itu bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai berlaku untuk pilpres dengan dua paslon. Jadi, kalau hanya ada dua paslon, maka penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak,” terang Titi pada diskusi “Jokowi Batal Jadi Presiden? Kerumitan Model Perselisihan Pemilu”, Kamis (9/7).

Akibat Putusan MK No.50/PUU-XII/2014 tak dimasukkan ke UU Pemilu

Titi menilai, jika pembentuk undang-undang mengakomodir substansi Putusan MK No.50/PUU-XII/2014 ke dalam UU Pemilu No.7/2017, tak akan muncul Putusan MA No.44 P/HUM/2019. Norma di Pasal 3 ayat (7) PKPU No.5/2019 telah dirumuskan berdasarkan putusan MK tersebut.

Kalau pembuat UU No.7/2017 mengakomodir substansi putusan MK di dalam pasal undang-undang untuk menerjemahkan Pasal 416, kita tidak akan berhadapan dengan situasi ini. Ini terjadi karena pembentukan UU 7 sangat mepet waktu dengan tahapan,” tandas Titi.

UU No.7/2017 yang menyatukan tiga undang-undang dibahas hanya dalam waktu tujuh bulan. UU ini disahkah oleh DPR RI pada 21 Juli 2017 dan diundangkan pada 16 Agustus 2017, satu hari sebelum tahapan Pemilu Serentak 2019 dimulai pada 17 Agustus 2019. (Baca: https://rumahpemilu.org/24-hari-pasca-disahkan-ruu-pemilu-belum-juga-diundangkan/)

Putusan MA No.44 P/HUM/2019 ternyata daluwarsa

Tak hanya bertentangan dengan putusan MK, Putusan MA No.44 P/HUM/2019 pun ternyata daluwarsa. Ketentuan Pasal 76 ayat (3) UU No.7/2017 menormakan bahwa pengujian terhadap PKPU kepada MA dilakukan paling lambat 30 hari sejak PKPU diundangkan. PKPU diundangkan pada 29 Januari 2019, sementara perkara Rachmawati diregister pada 13 Mei 2019. 

“Itu jauh sekali. Tapi MA tetap melanjutkan dengan alasan, faktor kerugian tidak bisa dikesampingkan. Loh, padahal kan paslon hanya dua itu sudah diketahui dari bulan Oktober. Kenapa juga ukuran kerugian itu (ditentukan) pada hari pemungutan suara. Jadi, saya menilai MA secara tidak langsung sudah melakukan pengujian terhadap UU No.7/2017,” kata Titi.

Dalam peraturan perundang-undangan, pengujian terhadap undang-undang dilakukan di MK, dan MA hanya berwenang menerima uji materi atas peraturan dibawah undang-undang.

Putusan MA No.44 P/HUM/2019 tidak berdampak hukum

Titi menegaskan bahwa sebuah aturan tak dapat berlaku surut. Putusan MA terbit setelah paslon presiden-wakil presiden ditetapkan. 

Selain itu, jika mengikuti syarat sebaran suara yang telah diputuskan oleh MK dalam hal hanya ada dua paslon, paslon Joko Widodo-Ma’ruf Amin unggul di 21 provinsi. 

“Otomatis karena calon cuma dua, maka suaranya pasti 50 persen plus 1. Dan suara Jokowi unggul di 21 provinsi,” tukas Titi.

Titi menyayangkan MA yang tak merujuk putusan MK sebagai pihak yang berwenang menguji konstitusionalitas undang-undang. Semestinya, tambah Titi, MA berpedoman pada putusan MK. 

“Ada penegasian yang sangat kuat antara dua puncak lembaga peradilan. Ini bukan yang pertama. Kasus OSO (Oesman Sapta Odang) dulu juga sama. Pengujian di MA wajib berpedoman pada apa yang sudah diputuskan oleh MK,” tutup Titi.