November 27, 2024

Putusan MK No.100/2015 Awali Pilkada Paslon Tunggal

Isu Pilkada dengan hanya satu pasangan calon (paslon) atau paslon tunggal kembali mengemuka. Pasalnya, jumlah daerah dengan paslon tunggal di Pilkada terus meningkat. Pilkada 2024 pun dilangsungkan di satu tahun yang sama dengan Pemilu Serentak, dengan berbagai ekses politiknya.

Pengajar Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini menceritakan bahwa fenomena paslon tunggal di Pilkada diawali oleh adanya Putusan Mahkamah Konsitusi (MK) No.100/2015, yang diajukan oleh Effendi Ghazali. Putusan ini mengizinkan pilkada dengan hanya satu paslon, dengan syarat upaya untuk menghadirkan minimal dua paslon telah dilakukan secara maksimal.

“Yang dimaksud MK diusahkan sungguh-sungguh itu, pendaftaran dibuka kembali, dilakukan verifikasi ulang terhadap pendaftar baru. Jadi, ada ruang untuk mendapatkan calon yang baru melalui pembukaan kembali pendaftaran paslon,” ujar Titi pada diskusi daring “Menggugat Calon Tunggal Pilkada Serentak 2024” (4/8).

Putusan tersebut memberikan solusi atas kasus paslon tunggal di Pilkada tahun 2015, yang dijalankan berdasarkan Undang-Undang (UU) No.1/2015 tentang Pilkada. UU ini mengatur bahwa apabila hanya ada satu paslon yang mendaftar, maka Pilkada di daerah tersebut akan ditunda ke Pilkada serentak gelombang berikutnya. Sementara, Pilkada Serentak gelombang kedua baru akan dilaksanakan pada 2017, dua tahun setelah Pilkada Serentak 2015.

“Waktu itu ditengarai, partai politik bukannya tidak bisa mengusulkan calon, tapi karena petahananya terlalu kuat, mereka berstrategi untuk tidak mengusulkan calon selain petahana, yang sudah mengerucut didukung oleh satu koalisi, sehingga pilkadanya ditunda. Dengan harapan, pilkada berlangsung tanpa si calon petahana. Jadi, pada waktu itu, terjadinya calon tunggal merupakan strategi partai-partai untuk menghambat calon yang kuat,” kisahnya.

Dengan adanya Putusan MK No.100/2015, maka Pilkada dengan paslon tunggal terjadi pertama kali pada 2015. Mengikuti plebisit Putusan tersebut, surat suara didesain untuk mengungkapkan setuju atau tidak setuju pada paslon tunggal. Kini, dengan adanya UU No.10/2016 tentang Pilkada, desain surat suara diubah menjadi paslon tunggal versus kolom kosong.

“Maka di surat suara, desainnya, di atas ada foto paslon, lalu di bawahnya ada tulisan setuju atau tidak setuju. Kemudian di UU No.10/2016 berubah menjadi calon tunggal versus kolom kosong. Ini digunakan sejak Pilkada 2017 sampai sekarang,” tutur Titi.

Jika paslon tunggal kembali terjadi di Pilkada Serentak 2024, maka ada tiga dasar hukum yang dapat dirujuk. Pertama, UU Pilkada No.10/2016. Kedua, Peraturan KPU (KPU) No.8/2024 tentang Pencalonan di Pilkada. Ketiga, Peraturan MK No.2/2017 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dengan Satu Pasangan Calon. []