November 11, 2024

Putusan MK No.55/2019, Pilkada Bagian Rezim Pemilu

Mahkamah Konstitusi (MK) dalam pertimbangan Putusan No.55/2019 yang dibacakan pada Rabu (26/2) menerangkan bahwa dalam original intent amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, terdapat tujuh gagasan pemilu serentak. Satu gagasan diantaranya menghendaki agar pemilihan umum serentak dilaksanakan sesuai dengan berakhirnya masa jabatan yang akan dipilih, sehingga serentak dapat dilakukan beberapa kali dalam lima tahun itu, termasuk memilih langsung gubernur dan bupati atau wali kota. Gagasan tersebut dinilai oleh pemohon, yakni Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menunjukkan secara eksplisit bahwa pemilihan kepala daerah (pilkada) merupakan bagian dari rezim pemilihan umum atau pemilu. Tiada pembedaan antara rezim pilkada dan rezim pemilu karena desain keserentakan membarengkan pemilihan presiden dan pemilihan legislatif dengan pilkada.

“Jadi, kami membaca putusan ini dan menyimpulkan dengan putusan ini tidak ada pembedaan rezim pemilu dan pilkada. Ini krusial, karena selama ini ada kehati-hatian untuk menggabungkan jadwal pilkada dengan pemilu,” kata peneliti Perludem, Fadli Ramadhanil, pada diskusi “Implikasi Putusan MK terhadap Desain Sistem Pemilu Serentak yang Konstitusional” di Cikini, Jakarta Pusat (27/2).

Fadli kemudian menambahkan bahwa tidak adanya pembedaan antara pilkada dengan pemilu dapat pula terlihat dari empat desain pemilu serentak yang disebutkan oleh MK, yang dinilai sebagai konstitusional. Empat dari enam desain secara keseluruhan yakni sebagai berikut. Satu, pemilu serentak untuk memilih presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), gubernur, bupati, dan wali kota. Dua, pemilu serentak untuk memilih presiden, anggota DPR, DPD, DPR Daerah (DPRD) provinsi dan kabupaten/kota, gubernur, bupati, dan wali kota. Tiga, pemilu serentak nasional untuk memilih presiden, anggota DPR, dan DPD, dan beberapa waktu setelahnya pemilu serentak lokal untuk memilih anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota, gubernur, bupati, dan wali kota. Empat, pemilu serentak nasional untuk memilih presiden, anggota DPR, danDPD, dan beberapa waktu setelahnya pemilu serentak provinsi untuk memilih DPRD provinsi dan gubernur, dan beberapa waktu setelahnya pemilu serentak kabupaten/kota untuk memilih anggota DPRD kabupaten/kota dan bupati/wali kota.

“Buktinya, pada varian kedua, ketiga, keempat, dan kelima. Pemilu serentak bisa dilaksanakan berbarengan dengan pemilihan bupati dan wali kota,” tandasnya.

Menambahkan penjelasan Fadli, pegiat pemilu yang menjadi saksi ahli uji materi Perludem di MK, Didik Supriyanto mengatakan bahwa dengan Putusan No.55/2019, MK mengoreksi putusannya bahwa pilkada bukanlah pemilu. MK telah mempersilakan pilkada disatukan dengan pemilihan nasional, dan dengan demikian menyetarakan pilkada dengan pemilu.

“Terakhir kan menyatakan Pilkada bukan pemilu. Meski itu lebih persoalan kewenangan dalam mengadili sengketa hasil pilkada. Problemnya sebetulnya teknis. Kalau pilkada bareng, MK dimudahkan untuk menangani sengketa hasil pilkada. Dan itu akan lebih sederhana lagi kalau disatukan dengan DPRD. Karena kecenderungannya ada pengelompokkan koalisi untuk dukung gubernur atau wali kota dan bupati sehingga potensi melakukan gugatan akhirnya sudah disaring di level partai. Jadi, kalau gugatannya masuk akal, baru ajukan. Tapi konsekuensinya, kalua ada pilakda yang digabung dengan DPRD atau pemilu nasional, ya mau gak mau MK tetap menangani sengketa hasil pilkada,” terang Didik.

Dalam Putusan No.55/2019 MK juga menegaskan bahwa pemilu serentak adalah pemilu yang menggabungkan antara pemilihan eksekutif dengan legislatif. Penyatuan kedua pemilu dapat dipisah antara tingkat nasional dan lokal, namun yang tak boleh dipisahkan yakni pemilihan presiden, pemilihan anggota DPR, dan pemilihan anggota DPD. Tujuan pemilu serentak adalah efektivitas sistem prsidensial., dan MK meyakini dengan disatukannya tiga pemilihan tersebut mampu mengefektifkan sistem presidensial yang dianut Indonesia.