Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilih Bersih menolak argumentasi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang menilai larangan mantan narapidana korupsi untuk dicalonkan sebagai anggota legislatif bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan MK yang menyebutkan bahwa mantan narapidana korupsi boleh maju kembali dalam sebuah pemilihan adalah dalam konteks pemilihan kepala daerah (pilkada), bukan pemilihan legislatif (pileg). Belum ada putusan MK tentang pembatasan hak untuk menjadi calon anggota legislatif (caleg).
“Putusan MK yang sering dirujuk Bawaslu selama ini, seluruhnya berkaitan dengan pilkada. Nah, pembatasan hak untuk mencalonkan diri di pilkada dan pileg tak boleh langsung dipersamakan karena objeknya berbeda,”jelas Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, kepada rumahpemilu.org (10/9).
Titi menyinggung Ketetapan (TAP) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) No.XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) dan Undang-Undang (UU) No.28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara. Kedua peraturan memandatkan agar penyelenggara negara bebas dari praktek KKN, dan Bawaslu semestinya turut mengacu pada peraturan ini.
“TAP itu masih berlaku. UU No.28/1999 juga masih berlaku. Pembentuk UU kita waktu itu ingin penyelenggaraan negara dipegang oleh orang-orang yang bersih dari KKN. Bawaslu semestinya tidak menafikan peraturan ini,” kata Titi.
Koalisi mengapresiasi langkah Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang telah berinisiatif untuk menengahi masalah di antara sesama penyelenggara pemilu. Menurut Koalisi, penilaian DKPP bahwa lembaga yang memiliki wewenang untuk mengoreksi PKPU adalah Mahkamah Agung (MA) dan bukan Bawaslu adalah tepat.
“Sikap ini menegaskan bahwa putusan Bawaslu terhadap sengketa pencalonan mantan napi korupsi merupakan putusan yang tidak seharusnya atau di luar kewenangan. Jadi, penilaian DKPP sudah sejalan dengan UU No.7/2017,” ujar Titi.