Putusan MK memulihkan hak pilih orang dengan gangguan jiwa. Mereka berhak didata di Daftar Pemilih Tetap (DPT).
FADLI Ramadhanil datang sendirian pada sidang pengucapan putusan yang dibuka pukul 09.40, Kamis, 13 Oktober 2016 itu. Ia datang sebagai kuasa hukum pemohon. Sidang itu adalah sidang terakhir dari perkara 135/PUU-XIII/2015.
Sidang itu adalah sidang yang ia tunggu-tunggu sejak satu tahun lalu, tepatnya 27 Oktober 2015, ia mendampingi pendaftaran permohonan di lantai satu Mahkamah Konstitusi (MK).
Pagi itu ada tujuh putusan yang dibacakan MK. Putusan bagi permohonan Fadli mendapat urutan keempat.
“Amar putusan, mengadili, menyatakan, mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian,” tegas Arief Hidayat, Ketua MK.
Pukul 11.30 putusan tersebut selesai diucapkan.
Menurut MK, pasal 57 ayat (3) huruf a UU 8/2015 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang frasa “terganggu jiwa/ingatannya” tidak dimaknai sebagai “mengalami gangguan jiwa dan/atau gangguan ingatan permanen yang menurut profesional bidang kesehatan jiwa telah menghilangkan kemampuan seseorang untuk memilih dalam pemilihan umum.”
MK mengklasifikasi gangguan jiwa atau ingatan berdasarkan waktu atau durasi gangguan serta kualitas gangguan. Jika berdasarkan klasifikasi tersebut seseorang masuk dalam kategori pengidap gangguan jiwa permanen atau kronis, ia berpotensi tak bisa didaftar dalam DPT. Keterangan profesional bidang kesehatan jiwa wajib dilampirkan untuk menunjukkan bahwa gangguan jiwa permanen tersebut telah menghilangkan kemampuannya untuk memilih dalam pemilu.
Tapi ketentuan larangan ini menurut MK tak perlu diatur dalam undang-undang. Hal ini setara dengan ketiadaan larangan didaftar bagi orang yang sedang menghadapi kematian, sedang mengalami koma, dan lain sebagainya.
Melalui pertimbangan hukumnya, MK juga mengelak jika disebut turut terjebak dalam stigma gangguan jiwa atau ingatan adalah orang gila. Menurut MK, gila hanya satu jenis dari abnormalitas mental. Jenis abnormalitas mental lain memiliki rentang kategori yang amat luas. MK malah mencurigai pembuat undang-undang yang terjebak.
“Seandainya yang dimaksud oleh pembentuk Undang-undang bahwa orang yang dikecualikan dari pencatatan pemilih adalah orang dengan psikosis (gila), yang memiliki ciri antara lain hidup menggelandang, makan sembarangan, bersifat asosial, bahkan tidak menyadari keberadaan dirinya sendiri, hal demikian menurut Mahkamah tidak perlu diatur secara khusus karena orang dengan psikosis demikian telah pasti, dengan penalaran yang wajar, tidak akan didaftar oleh petugas pencatat pemilih karena orang dengan psikosis demikian memang tidak memiliki keinginan untuk mengikuti pemungutan suara,” kata Manahan MP Sitompul, hakim MK.
Profesional penentu
Profesional bidang kesehatan jiwa yang berhak menilai kesehatan jiwa seseorang juga jadi catatan khusus MK. Penyelenggara pemilu tentu bukan lembaga yang tepat untuk melaksanakan tugas tersebut karena lembaga penyelenggara pemilihan umum tidak didesain untuk melakukan diagnosis kesehatan jiwa atau ingatan. Ketiadaan pedoman serta lembaga yang tepat untuk menjalankan ketentuan Pasal 57 ayat (3) huruf a berpotensi menimbulkan pelanggaran terhadap hak konstitusional calon pemilih untuk terdaftar sebagai calon pemilih.
Dokter Irmansyah menegaskan bahwa di Indonesia penentuan orang terganggu jiwa atau ingatannya harus berpedoman pada suatu buku yang sudah disepakati bersama. Hal tersebut tercantum dalam ketentuan umum UU 18/2014 tentang kesehatan jiwa—undang-undang yang juga diadvokasi Irmansyah.
Pada saat mencantumkan istilah orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di dalam ketentuan umum UU 18/2014, kata Irmansyah, orang yang masuk di dalam kategori ODGJ adalah berdasarkan entitas diagnosis yang sudah ditetapkan di dalam buku pedoman diagnosis yang berlaku. Saat ini di Indonesia berlaku kitab PPDGJ 3 (Pedoman dan Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa edisi 3), namun bagi klaim BPJS berlaku sesuai ICD 10.
Selama tak ada surat keterangan dari ahli kesehatan jiwa, ODGJ berhak terdaftar dalam DPT.
Disambut baik
Jenny Rosa Damayanti, Ketua PJS, menganggap putusan MK ini bisa jadi batu loncatan terhadap perjuangan penyetaraan kesempatan untuk mendapat hak-hak sipil politik dan sosial budaya bagi ODGJ dan kelompok disabilitas lain yang tak berbasis derma atau charity based.
Studi Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) (2015) mencatat ada 114 peraturan perundang-undangan yang terkait dengan isu disabilitas. Meski banyak, kerangka hukum tersebut belum tegas menjawab konsep kesetaraan kesempatan terhadap disabilitas.
Jenny juga menekankan pendataan pemilih dengan gangguan jiwa atau ingatan pascaputusan ini dilakukan serius oleh KPU. DPT Pilkada 2017 mencatat ada 50.063 pemilih dengan disabilitas. KPU hanya merinci jumlah pemilih dengan disabilitas daksa, netra, rungu/wicara, grahita, dan disabilitas lainnya.
KPU belum merinci jumlah pemilih dengan gangguan jiwa atau ingatan. Jika ODGJ diasumsikan didata dalam disabilitas lainnya, jumlahnya hanya 5.882 atau setara dengan 0,014 persen dari jumlah pemilih terdaftar. Angka ini terlampau kecil jika dibandingkan dengan data penyandang disabilitas yang dirilis Pusat Data dan Informasi Kementerian Sosial. Pada 2010 saja penyandang disabilitas mental mencapai angka 0,5 persen dari jumlah penduduk di Indonesia.
KPU akan menjumpai kendala stigma kembali dalam mendata ODGJ untuk didaftar sebagai pemilih. Dalam kondisi tersebut, KPU disarankan untuk menegaskan kepada keluarga bahwa pendataan dilakukan untuk mengakomodasi dan memfasilitasi hak pilih.
Sementara Fadli menyambut baik putusan MK ini. Menghormati hak ODGJ dengan menjamin dan memberikan kesempatan ODGJ dalam berpartisipasi dalam pemilu akan meningkatkan penerimaan ODGJ di masyarakat. Putusan pengadilan memiliki posisi penting untuk ikut menjernihkan berbagai kerancuan yang cenderung menimbulkan stigma serta perlakuan yang tidak tepat kepada ODGJ. []
- Laporan I: Sang Majenun Menuntut Hak Pilih
- Laporan II: Memilih dalam Pemilu Bukan Opsi Sulit Bagi ODGJ
- Laporan III: Belajar dari Terobosan KPU
- Laporan IV: Putusan yang Memulihkan