Transformasi yang paling krusial yang dilakukan pembentuk undangundang terhadap Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) adalah penambahan fungsi adjudikasi. Penambahan kewenangan ini membuat Bawaslu tidak lagi sekedar lembaga pemberi rekomendasi, melainkan pula sebagai pemutus perkara. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, fungsi adjudikasi yang dimiliki Bawaslu dapat dilaksanakan untuk memeriksa, mempertimbangkan, dan memutuskan pelanggaran administratif pemilu, pelanggaran politik uang, serta sengketa proses pemilu.
Mekanisme penyelesaian pelanggaran administratif pemilu itu sangat berbeda dengan ketentuan pada undang-undang sebelumnya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011, diatur bahwa Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota membuat rekomendasi atas hasil kajiannya terkait dengan pelanggaran adminitrasi pemilu. Sementara itu, di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, Bawaslu memiliki kekuatan lebih dengan kewenangan menerima, memeriksa, mengkaji, dan memutus pelanggaran administrasi pemilu.
Dari perbandingan ini terlihat upaya penguatan Bawaslu dari sebelumnya hanya berujung rekomendasi mejadi kewenangan memberikan putusan terhadap pelanggaran administrasi yang terjadi. Putusan Bawaslu dalam penyelesaian pelanggaran administrasi itu dapat berupa perbaikan administrasi, teguran tertulis, tidak diikutkan pada tahapan tertentu dalam penyelenggaraan pemilu, dan sanksi-sanksi administratif lainnya.
Selain terhadap pelanggaran administrasi pemilu, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 juga mengamanatkan pelaksanaan fungsi adjudikasi Bawaslu terhadap pelanggaran politik uang yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif. Politik uang yang dimaksud meliputi upaya menjanjikan, dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara pemilu dan/atau pemilih.
Terhadap peserta yang melakukan pelanggaran itu, berdasarkan rekomendasi Bawaslu dapat dikenai sanksi administratif berupa pembatalan sebagai calon oleh KPU. Namun perlu dicatat bahwa pemberian sanksi di atas tak dapat menggugurkan keberadaan sanksi pidana terhadap pelaku politik uang. Bagi calon yang terkena sanksi administratif berupa pembatalan, tersedia mekanisme upaya hukum ke Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak keputusan KPU ditetapkan. Hal lain yang menarik adalah jika KPU tidak menindaklanjuti putusan Bawaslu, maka Bawaslu mengadukan KPU ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), di mana ketentuan ini di undang-undang sebelumnya tidak muncul.
Kewenangan baru lainnya yang dimiliki oleh Bawaslu adalah menyelesaikan sengketa proses pemilu. Perubahan pertama yang dilakukan pada kewenangan ini adalah memperluas jangkauannya. Sebelumnya kewenangan ini hanya ada pada Bawaslu Pusat. Kini, kewenangan penyelesaian sengketa proses bisa dijalankan pula oleh Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota.
Selain itu, terhadap mekanisme penyelesaian perkaranya, Bawaslu ditugaskan untuk melakukan mediasi terhadap para pihak yang bersengketa. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan, maka penyelesaian sengketa proses pemilu dilakukan melalui proses adjudikasi.
Mekanisme penyelesaian tersebut sangat berbeda dengan pengaturan di Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 maupun Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011. Dahulu tahapan penyelesaian sengketa proses dilakukan dengan menerima dan mengkaji laporan, mempertemukan para pihak untuk mencapai mufakat, dan mencari alternative lain jika tidak tercapai mufakat. Namun, ketentuan tidak mendefinisikan lebih lanjut apa saja alternatif lain yang dapat ditempuh.
Hal itu kemudian seakan dijawab oleh Undang-Undang 7 Tahun 2017 dengan memberikan kewenangan adjudikasi kepada Bawaslu. Putusan Bawaslu mengenai penyelesaian sengketa proses pemilu merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat, kecuali putusan terhadap sengketa proses pemilu yang berkaitan dengan: (a) verifikasi Partai Politik Peserta Pemilu; (b) penetapan daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota; (c) penetapan pasangan calon. Terhadap putusan Bawaslu di atas, para pihak dapat mengajukan upaya hukum kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Dari berbagai penambahan kewenangan di atas, terlihat adanya politik hukum pembentuk undang-undang untuk memperkuat sisi eksekutorial dari fungsi-fungsi Bawaslu. Putusan Bawaslu sebelumnya yang hanya bersifat rekomendasi, kini memiliki kekuatan eksekutorial layaknya putusan pengadilan. Hal ini secara tidak langsung mentransformasi sifat kelembagaan Bawaslu menjadi quasi peradilan selayaknya lembaga seperti Komisi Informasi Pusat (KIP) atau Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Namun peran Bawaslu sebagai lembaga kuasi peradilan nyatanya tidak menunjukan efektivitas dalam penyelesaian sengketa pemilu. Tidak efektifnya peran Bawaslu sebagai lembaga kuasi peradilan tampak dalam sejumlah perkara. Ada perkara Oesman Sapta Odang (OSO) yang berstatu Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) sekaligus calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Pemilu 2019, sekaligus. Lalu ada perkara Partai Kesatuan dan Peradilan Indonesia (PKPI) pada Pemilu DPR/DPRD 2019.
Selain kewenangan kuasi peradilan, Bawaslu memiliki kewenangan melekat dalam hal pengawasan seluruh tahapan pemilu. Fakta di lapangan, kewenangan pengawasan belum berjalan maksimal seperti yang diharapkan. Kewenangan penyelesaian sengketa proses juga menuai persoalan, karena model penyelesaian sengketa proses oleh Bawaslu tidak ekuivalen dengan prinsip dan asas hukum dalam sistem peradilan yang mempersyaratkan sang pengadil tidak memiliki konflik kepentingan dengan obyek yang akan diadili.
Jadi, mau ke arah mana wujud Bawaslu nantinya? Tetap atau berubah? Jika tetap bagaimana perbaikannya? Jika berubah, akan seperi apa wujudnya? []
FORTUNATUS HAMSAH MANAH
Anggota Bawaslu Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT)