August 8, 2024

Ragam Usulan KPU dan Masyarakat Sipil Soal Isi Perpu

Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) didesak untuk segera dikeluarkan. Sejumlah usulan telah disampaikan kepada publik melalui webdiskusi. Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), juga Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, sebagaimana disampaikan pada diskusi “Penundaan Pilkada dalam Perspektif Penyelenggara Pemilu di Daerah” (5/4) meminta agar perpu terbit paling lambat akhir April 2020.

“Saya setuju dengan Mbak Titi (Direktur Eksekutif Perludem), kita harap April paling lambat ini keluar lah. Maka, kita bersama usul masukkan pasal-pasal yang urgen saja agar Pemerintah tidak kerepotan harus merumuskan terlalu banyak pasal di perpu,” kata Ketua KPU RI, Arief Budiman.

Usulan KPU 

Berangkat dari pandangan bahwa perpu mesti segera terbit sehingga tak perlu memuat terlalu banyak hal, KPU mengusulkan agar perpu mengatur dua substansi. Satu, kewenangan kepada KPU untuk melanjutkan tahapan Pilkada Serentak 2020. Dua, waktu Pilkada lanjutan.

“Bukan berarti yang lain tidak penting. Penting. Tapi kalau kita masukkan semuanya, akan terlalu lama membahasnya. Sementara kebutuhan kita akan perpu ini cepat,” tandas Arief.

Untuk masalah anggaran, menurut Arief, peraturan di Undang-Undang (UU) Pilkada telah cukup. UU Pilkada mengatur bahwa pembiayaan Pilkada melalui Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD) dan dapat dibantu oleh APB Negara (APBN).

Senada dengan KPU, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) juga menghendaki agar perpu tak mengatur banyak hal di luar penundaan Pilkada. Pengaturan yang dibuat dalam waktu mendesak bisa jadi nenimbulkan masalah

“Perpu adalah hal yang darurat, sehingga kalau isiannya terlalu banyak akan jd masalah karena tidak dipikirkan secara matang. Oleh sebab itu, perpu itu membahas masalah yang penting saja soal penundaan Pilkada,” ucap anggota Bawaslu RI, Rahmat Bagja.

Usulan masyarakat sipil

Sedikit merevisi pandangan sebelumnya bahwa perpu mesti menempatkan jadwal Pilkada lanjutan dalam desain keserentakan pemilu nasional-lokal sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.55/2019, Perludem mengusulkan tiga hal diatur di dalam perpu. Pertama, implikasi teknis penundaan Pilkada yang mengakibatkan terjadinya perubahan aturan di UU Pilkada. Perpu dinilai wajib memuat mekanisme penundaan Pilkada, waktu pemungutan suara, dan skema pengembalian anggaran Pilkada kepada Pemerintah Daerah.

“Misal, masa kerja PPS (Panitia Pemungutan Suara). Ada di UU Pilkada bahwa PPS dibentuk enam bulan sebelum pemungutan suara,” ujar Titi.

Kedua, jadwal Pilkada. Perludem mengusulkan agar Pilkada dilaksanakan setelah pertengahan Juni 2021, dan waktu pemungutan suara diserahkan kepada KPU. Waktu yang cukup dibutuhkan untuk mengantisipasi dampak ikutan dari Coronavirus disease 2019 (Covid-19) sehingga perpu tak perlu keluar dua kali.

“Ada yang mengatakan puncaknya Juli 2020. Nah, implikasi ikutan dari Covid-19 kan gak berhenti di bulan Juli 2020. Maka, agar kita tidak gonta-ganti peraturan,” pungkas Titi.

Ketiga, anggaran. Perludem mengusulkan agar anggaran dibiayai oleh APBN dengan dibantu APBD.

Selain tiga hal tersebut, Perludem juga memandang bahwa pepru dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah untuk mencegah kekacauan elektoral akibat Pilkada serentak yang dilaksanakan pada 2024, bersamaan dengan pemilu nasional. Pilkada lanjutan 2020 dirasa dapat digabungkan dengan Pilkada Serentak bagi daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir hingga Juni 2022.

“Bagi daerah yang akhir masa jabatannya setelah Juli 2022 sampai dengan 2024, pilkadanya dilaksanakan setelah Juni 2022 atau awal 2023. Ini relevan untuk masuk perpu karena ini bagian untuk mengatasi situasi genting kalau dipaksakan pilkada nasional di 2024,” tutur Titi.

Dari data Perludem, terdapat enam provinsi dan 49 kabupaten/kota yang dapat bergabung dengan 270 daerah yang akan melanjutkan tahapan Pilkada Serentaknya.

Cukup berbeda dari Perludem, Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif mengusulkan lima substansi di dalam perpu. Satu, penundaan Pilkada Serentak selama 12 bulan. Dua, pembiayaan Pilkada lanjutan dari APBN. Tiga, pengulangan tahapan pendaftaran calon perseorangan. Empat, mandat rekapitulasi elektronik bagi KPU. Lima, desain pemilu serentak nasional-lokal.

KoDe menyarankan pemilu serentak nasional dilaksanakan pada 2024. Dan setelahnya, 2025, 2026, dan 2027 pemilu serentak lokal.

“Misal, 2025 pemilu serentak lokal untuk region timur. Di 2026, region tengah. 2027, region barat. Nanti 2028, sudah tidak ada lagi tahapan pilkada. Penyelenggara pemilu, peserta pemilu, fokus ke pemilu serentak nasional 2029,” kata Koordinator harian KoDe Inisiatif, Ihsan Maulana pada webdiskusi “Perpu Pilkada: Skema Penundaan Pilkada 2020” (2/4).

Berbeda dari Perludem dan KoDe Inisiatif, Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) memandang bahwa perpu penundaan Pilkada merupakan produk hukum yang fokus tentang penundaan Pilkada Serentak 2020 sehubungan Covid-19. Hal seperti penentuan desain sistem keserentakkan pemilu tak bisa dimuat di dalam perpu yang mesti diterbitkan dalam waktu singkat.

“Sedangkan skema sistem, keserentakkan, itu butuh banyak waktu untuk tidak hanya sekadar membahas alternatif-alternatif yang dibahas oleh MK, tapi yang belum banyak tersebar secara merata,” ujar August pada diskusi “Perpu Pilkada: Skema Penundaan Pilkada 2020”.