Maret 19, 2024
iden

Ramai-ramai Desak Presiden Terbitkan Perppu Penundaan Pilkada

Minggu (29/3), masyarakat sipil dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyelenggarakan diskusi daring bertema “Covid-19 Mewabah: Presiden Perlu Segera Terbitkan Perppu Penundaan Pilkada”. Pada diskusi tersebut, dorongan agar Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) penundaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 mengemuka.

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Pusat Kajian Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, dan Rumah Kebangsaan sama-sama memandang bahwa penundaan empat tahapan Pilkada oleh KPU berimbas pada mundurnya tahapan lain. Keterbatasan waktu hingga September 2020, yakni empat bulan tersisa karena Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memperpanjang status keadaan tertentu bencana hingga 29  Mei, dinilai mustahil untuk menyelenggarakan hari pemungutan suara pada September 2020 sebagaimana perintah Pasal 201 ayat (6) Undang-Undang (UU) No.10/2016.

“Penundaan Pilkada secara keseluruhan menjadi keniscayaan. Pemerintah bilang masa darurat Covid-19 (coronavirus disease 2019) sampai Mei akhir, itu pun tidak jadi jaminan. Maka, harus ditunda keseluruhan dan hari H. Pemerintah bisa keluarkan perppu untuk mengubah Pasal 201 ayat 6,” kata Peneliti Senior Netgrit, Ferry Kurnia Rizkiansyah.

Perppu, menurut Dosen Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Feri Amsari, merupakan hak subjektif presiden. Perppu memiliki kedudukan setingkat undang-undang. Di dalam Pasal 22 UU Dasar (UUD) 1945, perppu dapat diterbitkan oleh presiden jika terdapat hal ihwal kegentingan memaksa.

Lebih lanjut, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.138/2009 menyebutkan tiga syarat dikeluarkannya perppu. Satu, adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum berdasarkan undang-undang. Dua, belum adanya undnag-undang sehingga terjadi kesosongan hukum atau ada undang-undang namun tak memadai atau menyelesaikan masalah. Tiga, kebutuhan mendesak tak bisa diatasi dengan membuat undang-undang sesuai prosedur karena dapat memakan waktu.

“Tiga syarat itu sudah memungkinkan Pemerintah untuk menyatakan telah adanya hal ihwal kegentingan mendesak sehingga dibutuhkan perppu untuk menyelamatkan proses Pilkada kita. Sejauh ini, saya tidak melihat ada potensi DPR bisa menggantikan posisi perppu dengan revisi undang-undang. Bayangkan kalau ada pertemuan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk revisi undag-undang di tengah wabah. Dan juga revisi akan memakan waktu sementara tahapan semakin dekat,” jelas Feri.

Ketua KPU RI, Arief Budiman menyampaikan pihaknya telah menyiapkan scenario penundaan Pilkada 2020. Skenario pertama, dengan asumsi Covid-19 selesai bulan Mei 2020, maka hari pemungutan suara akan dilaksanakan pada Desember 2020.

“Nah, KPU menghitung awalnya karena mundur tiga bulan, kita skenariokan awalnya tiga bulan juga. Dari September, undur tiga bulan menjadi Oktober, November, Desember. Tapi melihat perkembangan yang terjadi sampai saat ini, ras-rasanya memundurkan sampai Desember terlalu riskan. Dan kita akan keluarkan energi teralu besar,” pungkas Arief.

Skenario kedua, hari pemungutan suara diundur enam bulan sehingga ajtuh pada bulan Maret 2021. Alasannya, tahapan dengan aktivitas berskala besar dengan mengumpulkan massa dalam jumlah banyak dimulai enam bulan sebelum hari pemungutan suara. Skenario ini berangkat dengan asumsi peneybaran Covid-19 telah mereda pada September 2020 dan masyarakat dapat bergerak lebih leluasa.

“Kalau skenario ini sesuai dengan yang diperkirakan, Covid mereda, masyarakat bisa bergerak bebas, maka enam bulan kemudian, itu Maret 2021. Maka bisa kita laksnakana. Kebetulan Maret itu juga belum memasuki bulan puasa,” terang Arief.

Skenario ketiga, penundaan selama satu tahun. Pertimbangannya, meski Covid-19 telah mereda pada Oktober, namun masyarakat belum dapat bergerak bebas.

“Saya tidak bisa pastikan apakah Oktober itu, masyarakat sudah bisa bergerak bebas. Dan, sebetulnya, kalau itu baru selesai Oktober, maka sangat riskan penundaan di bulan Maret. Maka, KPU menyiapkan skenario berikutnya. Maka opsi yang paling panjang ditunda selama satu tahun. Jadi, akan dilakukan September 2021,” urai Arief.

Deputi Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustiyati menyarankan agar KPU membuat simulasi dari masing-masing skenario. Bahkan, KPU dapat pula mensimulasikan desain pemilu serentak yang telah diumumkan oleh MK dalam Putusan No.55/2019. Bisa jadi Pemilu Serentak 2021 disatukan dengan gelombang pemilu serentak hasil Pilkada 2017 di tahun 2022.

“Simulasi ini penting karena ketika satu tahapan ditunda akan berdampak pada tahapan berikutnya. Bisa juga dikaji model-model desain pemilu serentak yang sudah dibuka opsinya oleh MK. Tentu, misal jika Pilkada 2020 ditarik ke 2022, akan ada konsekuensi penjabat terlalu lama menjabat. Danharus juga merubah pasla lain di UU Pilkada kita, karena di UU itu kan Pilakda 2020 adalah pilkada serentak terakhir,” ujar Khoirunnisa.

Direktur Rumah Kebangsaan, Erika Widyaningsih turut mendorong penerbitan perppu. Ia menganjurkan agar KPU di daerah membantu merekmendasikan penerbitan perppu untuk meyakinkan presiden adanya situais genting yang perlu menyelematkan manusia sebagai peneyelenggara pemilu, peserta pemilu dan pemilih, serta menyelematkan Pilkada itu sendiri.

“Teman-teman KPU di daerah bisa mendukung agar perppu segera diterbitkan. Bantu KPU RI meyakinkan Pemerintah dan DPR untuk segera mengeluarkan perppu,” tukasnya.

Menyikapi desakan masyarakat sipil, Tenaga ahli utama Kantor Staf Presiden (KSP), Sigit Pamungkas menyatakan bahwa Pemerintah akan mempelajari opsi penerbitan perppu. Namun, kapan waktu penundaannya akan diserahkan kepada KPU.

“Kita pelajari. Menkolpuhukam (Menteri Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan) juga memebuka diri untuk menerbitkan perppu penundaan Pilkada. Tapi, ini kita serahkan sepenuhnya kepada KPU. Kan KPU melihat perkembangan kebencanaan ini. Apakah sudah selesai sampai bulan Mei atau belum,” ujar Sigit.

Menurutnya, jika waktu yang tersisa dari penanggulangan becana Covid-19 hanya sedikit, maka perppu memang tak terhindarkan. Namun jika masih ada cukup waktu, KPU dipandang dapat mengusahakan.

Sigit mendorong agar KPU mendesain birokrasi Pilkada di masa bencana. Ia mengambil contoh Israel yang membuat tempat pemungutan suara (TPS) khusus. Negara-negara lain juga memasifkan penggunaan sistem teknologi informasi untuk menjalankan tahapan pemilu di kondisi bencana.

“Kegiatan KPU, misal, penundaan pelantikan, apakah memang harus dilantik? Seperi pelantikan anggota DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) yang baru, Pak Didik Supriyanto. Kan cukup keluar surat yang menyatakan berlaku sejak ditetapkan. Barangkali KPU bisa mengambil inovasi di sana,” kata Sigit.

Selain itu, oleh Feri Amsari, KPU didorong untuk bersikap pro aktif membantu Pemerintah dalam penerbitan perppu. KPU dapat mengirimkan daftar inventaris masalah (DIM) untuk penerbitan perppu atau membuatkan draf perppu.

“Untuk membantu Pemerintah, KPU perlu pro aktif. Orang kan sedang fokus menangani becana besar. Tentu segala pikiran tertumpah kepada banyak hal itu,” ujarnya.

Feri mengusulkan agar di dalam draf perppu tak menyebutkan waktu spesifik hari pemungutan suara Pilkada. Tujuannya, agar jika ternyata wabah Covid-19 tak surut sesuai prediksi, tak perlu lagi dikeluarkan perppu.

“Jadi, di pasal perppu itu ditentukan bahwa kalaulah Pemerintah sudah mengumumkan bahwa Covid-19 sudah berakhir, maka dua bulan setelah pengumuman itu, KPU diperintahkan untuk menentukan tahapan pilkada susulan,” tuturnya.

Usulan tersebut didukung oleh mantan anggota KPU periode 2012-2017, Hadar Nafis Gumay. KPU RI dirasa penting mengumpulkan datar masalah yang perlu diatur di dalam perppu, sebab dugaan Hadar, penundaan Pilkada 2020 berdampak pada banyak pasal di UU Pilkada.

“Jangan-jangan, ini mungkin perlu dibuat pengaturan sapu jagadnya di dalam perppu. Agar komprehensif,” tutup Hadar.