Ramlan Surbakti, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga meminta agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) tak melarang jika ada masyarakat yang mengkampanyekan pilihan alternatif atau kotak kosong di Pilkada calon tunggal Pilkada Serentak 2020. Menurut Ramlan, masyarakat berhak menciptakan politik alternatif ditengah kebuntuan politik yang disebabkan oleh mekanisme rekrutmen calon di partai politik yang tidak berjalan secara terbuka dan kompetitif.
“Paslon tunggal itu sebenarnya produk dari proses pencalonan yang tertutup dan tidak demokratis. KPU Kabupaten Pati dulu, dia tidak memfasilitasi masyarakat untuk kampanye kotak kosong, tapi tidak melarang. Ini agar masyarakat punya alernatif,” kata Ramlan pada kegiatan Refleksi Pemilu Serentak 2019 dan Persiapan Pilkada Serentak 2020 di kantor KPU RI, Menteng, Jakarta Pusat (22/1).
Ramlan menyampaikan hasil riset mahasiswanya mengenai pilkada calon tunggal di Kabupaten Pati dan Kabupaten Tebing Tinggi. Di Kabupaten Pati, dimana terdapat gerakan masyarakat yang menyuarakan politik alternatif untuk memilih kotak kosong, tingkat keterpilihan calon tunggal tak setinggi di Kabupaten Tebing Tinggi yang tak ada gerakan untuk kotak kosong. Studi ini menunjukkan pentingnya membiarkan masyarakat membangun politik alternatif sendiri, jika dirasa visi-misi dan program kerja yang ditawarkan calon tunggal tak sejalan dengan kepentingan masyarakat di daerah.
“Tebing Tinggi, tinggi (tingkat keterpilihannya). Tapi di Pati, masyarakat berinisiatif untuk memberikan suara tandingan. Untungnya, KPU Kabupaten Pati tidak melarang. Jadi, suara dari masyarakat itu ditampilkan oleh mereka dengan dana sendiri,” jelas Ramlan.
Di negara lain, fenomena pemilu dengan calon tunggal diistilahkan dengan uncontested election. Jika hanya muncul satu calon dalam mekanisme rekrutmen calon yang dilaksanakan secara terbuka dan demokratis, maka calon tersebut secara langsung ditetapkan sebagai calon terpilih. Di Indonesia, kotak kosong diizinkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), sebab pencalonan kepala daerah di Pilkada dilakukan dalam ruang tertutup.
“Di Indonesia, karena proses pencalonan tidak kompetitif, terpaksa keluar putusan MK tentang kotak kosong. Tapi, sekali lagi, ini uncontested election. Pemilu itu mestinya ada kompetisi calon,” tutur Ramlan.
Fenomena calon tunggal di Pilkada Indonesia selalu meningkat. Pada Pilkada Serentak 2015, terdapat 3 daerah berpilkada calon tunggal. Jumlah ini meningkat di Pilkada Serentak 2017 dan 2018 dengan masing-masing 9 daerah dan 16 daerah.