Pada forum Mahkamah Konstitusi (MK) Mendengar (9/3), Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar, menyampaikan lima catatan sebagai rapor MK. MK, yang tengah mengalami guncangan akibat ditangkapnya Hakim MK, Partialis Akbar, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 26 Januari lalu, diharapkan melakukan sejumlah perbaikan guna mengembalikan kehormatan MK sebagai lembaga peradilan.
“Undang-Undang MK akan segera mengalami catatan perubahan. Karenanya, beberapa catatan kecil ini saya harap dapat mengawali perbaikan yang mungkin dilakukan oleh MK,” kata Zainal di Hotel Borobudur, Pasar Baru, Jakarta Pusat.
Sistem Rekrutmen Hakim MK
Sembilan hakim MK diajukan oleh Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Mahkamah Agung (MA). Presiden sebagai representasi lembaga eksekutif, DPR sebagai representasi lembaga legislatif, dan MA sebagai representasi lembaga yudikatif. Ketiga pihak melakukan rekrutmen untuk menentukan tiga calon hakim MK berdasarkan sistem rekrutmen masing-masing.
Menurut Zainal, ada ketidakadilan pada representasi lembaga legislatif. Pasalnya, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang merupakan bagian dari lembaga legislatif, tidak diberikan hak oleh UU Dasar (UUD) 1945 untuk memilih hakim MK. Padahal, keberadaan DPD dalam proses rekrutmen hakim MK dapat mereduksi kemungkinan kepentingan politik oleh DPR.
“Mengherankan memang, karena pada saat ini, DPR memonopoli seluruh pengisian jabatan publik. DPD hanya diberikan porsi kecil untuk anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Jadi, tidak banyak praktek checks and balances intra parlemen yang bisa diharapkan,” kata Zainal.
Selain itu, Zainal mengkritik tidak berjalannnya empat prinsip dasar dalam proses seleksi hakim MK yang tertuang di dalam Pasal 19 dan Pasal 20 UU MK, yakni transparan, partisipatif, objektif, dan akuntabel. Empat prinsip tersebut seringkali dirusak oleh kepentingan politik dan faktor kedekatan.
“Contohnya pengangkatan Patrialis Akbar. Dia dipilih tanpa suatu proses pemilihan yang sesuai dengan prinsip dasar. Makanya keputusan Presiden atas pengangkatan Patrialis dipersoalkan di PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara),” tukas Zainal.
Pengawasan terhadap MK
MK telah memiliki pengawasan dalam bentuk Dewan Etik MK, yang menurut Zainal telah berjalan cukup efektif. Namun, keberadaan Dewan Etik perlu direformulasi dan konsep peradilan etik mesti dikuatkan kembali. Zainan memberikan opsi agar MK dapat mempertimbangkan untuk memformat ulang pengawasan oleh Komisi Yudisial (KY).
“Judicial independency berkaitan erat dengan judicial integrity. Jika integritas tinggi, maka wajar apabila diberikan independensi yang tinggi. Akan tetapi, jika integritas rendah, maka independensi yang dimiliki suatu lembaga harus dikurangi. Apapun bentuk pengawasan yang dipilih MK, penguatan pengawasan adalah hal penting yang tidak bisa diremehkan,” tegas Zainal.
Kualitas Putusan MK
“Belakangan, putusan MK mengalami penurunan kualitas,” kata Zainal. MK memberikan putusan dengan analisa hukum yang tidak jelas, logika hukum yang tidak kuat, dan cenderung menyederhanakan persoalan. Hal ini telah mendorong kecurigaan publik akan kemungkinan pesanan putusan. MK mesti menjelaskan dengan detil alasan pengambilan keputusan.
“Putusan serampangan itu sangat mudah dijual. Oleh karenanya, penguatan putusan MK akan sangat membantu untuk memperbaiki citra MK sebagai harapan terakhir bagi para pencari keadilan,” kata Zainal.
MK Mesti Menjadi Solusi
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, Zainal menilai bahwa MK seringkali menghilangkan momentum untuk memberikan solusi dalam menjawab kebuntuan dan persoalan konstitusi. MK tidak bergerak cepat di waktu yang tepat. Kecepatan MK tak bisa diandalkan untuk perkara-perkara yang membutuhkan jawaban segera.
“Timing sering telat. Selesai RPH (Rapat Permusyawaratan Hakim), putusan tidak kunjung dibacakan. Padahal, banyak orang yang bisa jual isi putusan. Saya harap, MK memahami bahwa lembaga ini dibutuhkan untuk menjawab berbagai persoalan yang mendesak untuk diselesaikan,” tegas Zainal.
MK Mesti Menjadi Contoh Badan Peradilan
Zainal menceritakan bahwa masih ada hakim MK yang meninggalkan proses persidangan karena ada undangan di luar kerja persidangan, dan perluasan panel yang disebabkan oleh adanya kunjungan hakim ke luar negeri untuk menghadiri seminar. Menurutnya, hakim MK adalah seorang negarawan yang diharapkan fokus pada tugas utama. Dikesampingkannya tugas utama untuk kepentingan lain yang bisa diperdebatkan bukanlah contoh yang patut ditiru dari lembaga peradilan yang modern, berintegritas, dan terpercaya.
Zainal berharap MK melakukan sejumlah perbaikan dan kembali kepada tujuan utama dibentuknya MK. Peningkatan kualitas dan percepatan putusan dapat dilakukan dengan diadakannya bantuan dari asisten dan peneliti yang mumpuni.
“MK harus kembali pada core-nya, yaitu penguatan ke arah putusan. Hakim MK jelas mandiri, tetapi bukan berarti tak bisa dibantu oleh analisis dari asisten maupun peneliti,” ujar Zainal.
Ketua Hakim MK, Arief Hidayat, mengatakan bahwa masukan yang diterima oleh MK adalah bukti cinta publik kepada MK. “Kami merasa disayangi dan dicintai oleh stakeholder. Hakim boleh diganti, tetapi institusi ini harus tetap berdiri sesuai dengan prinsip-prinsip huku yang berlaku,” tutup Arief.