Menegakkan supremasi hukum merupakan salah satu tuntutan reformasi. Dalam hal kepemiluan, tuntutan ini telah diperkuat dalam perjalanannya hingga kepada kelengkapan penegakan hukum pemilu di Undang-Undang No.7/2017. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menjadi organ yang diharapkan mampu mewujudkan cita-cita reformasi akan penyelenggaraan pemilu yang adil.
“Bawaslu memiliki kewenangan dalam menangani setiap pelanggaran pemilu, mulai dari pelanggaran administrasi, tindak pidana pemilu, sampai penyelesaian sengketa pemilu. Maka, Bawaslu memainkan peran dalam reformasi pemilu untuk menegakkan supremasi hukum di bidang kepemiluan,” tandas Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, pada diskusi “20 Tahun Reformasi Pemilu” di Sultan Agung, Jakarta Selatan (29/5).
Terhadap pelanggaran administrasi pemilu, Bawaslu dapat menerima, memeriksa, dan memutus setiap dugaan pelanggaran administrasi pemilu. Produk yang dihasilkan Bawaslu yakni putusan yang bersifat mengikat.
Terhadap pelanggaran pidana, Bawaslu bersama Kepolisian dan Kejaksaan menentukan kesepahaman terhadap suatu peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran pidana. Dalam penanganan pelanggaran pemilu seperti politik uang, Bawaslu dapat mendiskualifikasi peserta pemilu apabila kejahatan dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif.
“Bawaslu dapat menyelenggarakan forum persidangan untuk memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran. Ruang untuk menguji setiap tindakan, keputusan, dan proses penyelenggara pemilu pun telah disediakan,” kata Fadli.
Ruang yang dimaksud yakni, untuk sengketa proses pemilu, disediakan mekanisme banding atas putusan Bawaslu di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Untuk perselisihan hasil pemilu, peserta pemilu dapat menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Kuatnya kewenangan yang diberikan kepada Bawaslu, menurut Fadli, terkendala oleh budaya perilaku aktor politik dan masyarakat yang tak menjunjung semangat reformasi. Proses pemilu masih diwarnai oleh berbagai bentuk politik uang seperti mahar politik, jual beli suara, serta suap hakim dan penyelenggara pemilu. Masyarakat dinilai permisif terhadap perilaku kolusif para peserta pemilu.
“Reformasi budaya masyarakat masih jauh dari apa yang diharapkan. Oleh karenanya, pendidikan politik kepada masyarakat masih harus terus dilakukan, sejalan dengan penindakan hukum pemilu terhadap siapa pun yang melanggar ketentuan hukum,” ujar Fadli.
Mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Hadar Nafis Gumay, turut berkomentar. Menurutnya, jika Bawaslu tak dapat memberikan sumbangan yang efektif terhadap penyelenggaraan pemilu dan hasil pemilu, keberadaan institusi Bawaslu mesti kembali dipertanyakan.
“Kita perlu memastikan, apakah ini (Bawaslu) memang institusi yang kita perlukan untuk memastikan pemilu kita berjalan demokratis. Apakah ia akan memberikan sumbangan yang efektif untuk memastikan pemilu kita berjalan demokratis dan menghasilkan pemimpin-pemimpin yang kita harapkan?” tukas Hadar pada diskusi yang sama.
Hadar menantikan kinerja maksimal Bawaslu dalam penegakan hukum pemilu. Khususnya, hasil yang ditorehkan Bawaslu untuk Pemilu 2019.
“Ada sumbangsih besar apa dari Bawaslu? Karena sudah empat kali pemilu, tapi pemilu masih juga ramai dengan politik uang dan pelanggaran,” tutup Hadar.