August 8, 2024

Regulasi Tak Cukup Memadai Dorong Perempuan Jadi Penyelenggara Pemilu

Undang-undang No. 15 tahun 2011 dinilai tak cukup untuk memastikan ada perempuan di penyelenggara pemilu. Frasa “memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen” mestinya diikuti oleh peraturan pelaksana di bawah undang-undang, terutama peraturan mengenai seleksi calon anggota penyelenggara pemilu.

“Peraturan tak mengakomodasi tantangan yang dihadapi perempuan karena anggapan bahwa perempuan dan laki-laki telah diberikan akses dan peluang yang sama untuk masuk mendaftar sebagai penyelenggara pemilu. Anggapan inilah yang menurut Puskapol UI perlu dikoreksi karena tidak sesuai dengan situasi sebenarnya di lapangan,” kata Anna Margret, Wakil Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP UI, saat diskusi media “Meningkatkan Keterwakilan Perempuan dalam Lembaga Penyelenggara Pemilu” di Cikini, Jakarta (15/10).

Sebagai contoh, ada pengalaman perempuan yang sulit memenuhi prasyarat dokumen terkait afiliasinya dengan partai politik lebih dari lima tahun. Pengurus partai terkesan enggan mengeluarkan surat pernyataan bebas keanggotaan partai politik.

Sementara itu, Dian Kartika Sari, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), menuntut adanya peraturan yang mengatur komposisi calon yang dihasilkan tim seleksi untuk diajukan ke DPR.

“Kalau Timsel menyediakan perempuan yang lolos cukup, DPR tak akan sulit memilih. Dulu (seleksi KPU 2012), dari 14 cuma 1 perempuan. Komposisi yang dihasilkan Timsel juga harusnya diatur,” kata Dian di Jakarta (15/11).