Hasil Pemilu 2024 hampir sama dengan Pemilu Serentak 2019 atau pun pemilu terpisah pada 2014. Berdasarkan penghitungan sementara sebagai proyeksi sistem kepartaian, sistem kepartaian DPR 2024-2029 adalah 7,3. Ini angka sistem kepartaian yang masih ekstrem dan mirip dengan hasil Pemilu Serentak 2019 yaitu 7,5. Artinya, masih ada sekitar 7 partai politik di DPR yang bisa mempengaruhi 50%+1 pengesahan legislasi/anggaran dalam DPR sebagai parlemen nasional.
Tidak tercapainya pengoptimalan efek ekor jas dan berdampak pada sistem kepartaian yang tetap ekstrem karena Pemilu 2024, karena pemilu legislatifnya masih menerapkan sistem proporsional daftar terbuka. Varian sistem proporsional ini tidak sejalan dengan tujuan penyederhanaan sistem kepartaian parlemen.
Jika pemilu DPR/DPRD menggunakan proporsional tertutup, maka jumlah partai politik DPR akan semakin sedikit. Apa yang dihasilkan survei elektabilitas partai akan tergambar mirip dengan hasil resmi pemilu DPR/DPRD yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum.
Jika kita merujuk rataan dari berbagai hasil survei elektabilitas, maka hanya ada tujuh partai yang bisa melampaui ambang batas parlemen 4% untuk masuk DPR. Rataan elektabilitas ini berasal dari 5 Lembaga Survei: Charta Politika, SMRC, Indikator, Lembaga Survei Indonesia, dan Poltracking.
Tujuh partai DPR 2024 adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Nasional Demokrat (Nas-Dem). Elektabilitas tiap partai ini yaitu PDIP 24,4%, Gerindra 10,9%, Golkar 10,2%, Demokrat 8,8%, PKB 7,4%, PKS 6,1%, dan Nas-Dem 4,1%.
Rataan Elektabilitas berasal dari 5 Lembaga Survei (Akhir 2022): Charta Politika (12), SMRC (12), Indikator (12), Lembaga Survei Indonesia (8), Poltracking (11)
Jika elektabilitas partai tersebut dikonversi berdasar 580 kursi DPR, maka tiap partai secara proporsional akan mendapat kursi DPR dengan pembagian sebagai berikut: PDIP 197 kursi atau 34% kursi DPR, Gerindra 88 (15,2%), Golkar 82 (14,1%), Demokrat 71 (12,2%), PKB 60 (10,3%), PKS 49 (8,4%), dan Nasdem 33 (5,7%).
Dari komposisi kursi itu, kita bisa mendapat angka sistem kepartaian DPR 2024. Penghitungan sistem kepartaian ini berdasar rumus effective number of parliamentary parties (ENPP). Hasil penghitungannya akan dikelompokan sesuai angkanya. ENPP berangka 1 berarti masuk kelompok sistem kepartaian tunggal. Jika ENPP berangka 2, berarti ada dua partai kuat dan relatif berimbang dalam parlemen, sehingga ini masuk kelompok sistem kepartaian dwipartai yang biasa dimodelkan dengan Demokrat-Republik di Amerika Serikat. Jika nilai ENPP lebih dari 2, berarti ada lebih dari dua partai kuat dan relatif imbang di dalam parlemen, sehingga ini masuk dalam kelompok sistem kepartaian multipartai yang biasa dimodelkan dengan sistem kepartaian di parlemen Belanda dan Jerman.
Sistem kepartaian multipartai lalu dibagi menjadi dua. Pertama, multipartai moderat dengan nilai ENPP 3 sampai 5. Kedua, multipartai ekstrem dengan nilai ENPP lebih dari 5.
Angka ENPP tersebut tidak sama dengan jumlah partai politik pada surat suara dan di dalam parlemen. Surat suara bisa jauh lebih banyak menampung partai politik. Lalu, partai politik yang masuk parlemen pun bisa jauh lebih banyak jumlahnya dibanding angka ENPP.
Contoh, pada Pemilu 1999, partai politik peserta pemilu pada surat suara berjumlah 48. Lalu partai politik yang masuk DPR ada 21. Tapi, nilai ENPP 21 partai politik parlemen ini hanya 4.7 sehingga masuk kelompok sistem kepartaian multipartai moderat.
Sejak Indonesia menerapkan sistem proporsional semi terbuka pada Pemilu DPR 2004 dengan besaran daerah pemilihan 3-12 kursi, dihasilkan DPR bersistem kepartaian multipartai ekstrem (7.1). Lalu pada Pemilu DPR 2009, 2014, dan 2019 dengan sistem proporsional terbuka dan daerah pemilihan 3-10 kursi, tetap menghasilkan multipartai ekstrem (6.1, 8.2, dan 7.5).
Sistem proporsional tertutup akan mengakhiri tren multipartai ekstrem Indonesia menjadi multipartai moderat. Nilai ENPP-nya kemungkinan akan di kisaran 5. Kita bisa buktikan ini dengan simulasi menggunakan data elektabilitas partai untuk Pemilu 2024.
Nilai ENPP 5,1 berarti, Pemilu 2024 dengan sistem proporsional terutup berhasil menciptakan sistem kepartaian multipartai moderat. Nilai sistem kepartaian moderat ini jadi hasil yang dicitakan dari negara penganut sistem multipartai. Apalagi Indonesia juga menerapkan sistem pemerintahan presidensial yang berkecenderungan melahirkan pemerintahan terbelah. Presidensial multipartai ekstrem menjadi keadaan sistemik yang membuat seluruh negara penganutnya berkinerja buruk dan koruptif.
Menghindari multipartai ekstrem terbentuk di parlemen memang tidak menjamin suatu negara bisa lebih baik dalam demokrasi. Tapi, tidak ada negara yang baik berdemokrasi dan bisa sejahtera, menerapkan sistem kepartaian multipartai ekstrem. Jika kita merujuk pada sejumlah indeks negara-negara dalam demokrasi/kebebasan (Freedom House) dan bersih dari korupsi (Transparency International), kita bisa berkesimpulan bahwa peringkat negara-negara antar indeks relatif mirip. Bila kita kaitkan dengan sistem politik, didapat temuan, tidak ada negara yang pemerintahannya berjalan baik, punya sistem kepartaian multipartai esktrem.
Itu jadi bagian sebab, hilangnya oposisi dalam DPR. Multipartai ekstrem berkonsekuensi pada kecairan ideologi partai di DPR karena banyak partai yang persentase kursinya relatif imbang. Keadaan ini membuat partai politik DPR bekerja berdasar tujuan mendapat jatah kekuasaan dan proyek pembangunan dari kepala pemerintahan sebagai konsekuensi legislasi.
Hasil simulasi dalam tulisan ini kemungkinan akan mirip dengan hasil Pemilu 2024 yang sebenarnya. Selama ini, hasil survei elektabilitas partai politik amat berbeda dengan persentase perolehan suara hasil pemilu yang ditetapkan resmi oleh Komisi Pemilihan Umum. Sebab mendasarnya adalah, karena pertanyaan survei elektabilitas partai politik tidak relevan dengan sistem pemilu yang diterapkan sejak Pemilu 2004.
Pertanyaan survei elektabilitas partai politik, kurang lebih adalah sebagai berikut: “Bapak/Ibu, seandainya sekarang adalah hari pemungutan suara, maka partai politik apa yang akan dipilih?” Pertanyaan ini hanya relevan dalam sistem pemilu proporsional tertutup.
Padahal, sistem yang diterapkan dalam pemilu DPR/DPRD adalah sistem proporsional terbuka. Pemilih bisa memilih langsung tiap nama calon legislatornya. Memang, inkonsistensi sistem proporsional terbuka di Indonesia, membolehkan pemilih memilih nama/lambang partai politik, tapi jumlah pemilih ini jumlahnya sedikit.
Ketidaksesuaian pertanyaan survei elektabilitas dengan penerapan sistem pemilu, jadi penjelasan mengapa, hasil survei pemilu legislatif relatif tidak akurat. PKS, PAN, Nas-Dem, bahkan PPP, bisa diprediksi tidak lolos parliamentary threshold untuk masuk DPR.
Kenyataannya, daftar caleg yang disusun oleh semua partai, bisa mempengaruhi perolehan suara yang lebih sehingga hasilnya jauh berbeda dengan hasil survei elektabilitas. Pada surat suara “Hari H” Pemungutan Suara, pemilih jauh lebih banyak yang memilih langsung nama caleg, bukan nama/lambang partai politik. Alasannya bisa karena kualitas, identitas, kekerabatan, popular, cantik/ganteng, politik uang, atau gabungan dari pertimbangan ini. []
USEP HASAN SADIKIN