Rabu, 9 April 2014 rakyat Indonesia kembali berhak memberikan suaranya menentukan siapa yang pantas menjadi perwakilannya untuk pemerintahan 2014-2019. Menurut penulis, Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 nanti sangatlah “istimewaâ€. Pasalnya, pada masa menuju pencoblosan, banyak sekali kader partai terjerat kasus-kasus terkait moralitas. Terutama kasus korupsi, termasuk pencucian uang, penyuapan di dalamnya.
“Istimewa†karena menjadi kasus trendy dikalangan anggota legislatif. Kasus-kasus tersebut sangatlah memalukan. Anggota dewan yang sudah dipilih oleh rakyat, semestinya bekerja untuk rakyat, bukan malah bersenang-senang ataupun memperkaya diri sendiri dan itu semua dilakukan di atas penderitaan rakyat dan memakai uang negara.
Perilaku tersebut membuat banyak rakyat Indonesia tidak percaya wakilnya beserta partai yang menjadi kendaraan saat pemilu.
Peneliti Lingkar Survei Indokator (LSI), Dodi Ambardi mengatakan, tingkat Golongan Putih (Golput) disebabkan tiga faktor. Pertama, masyarakat tak percaya terhadap partai atau calon legislatif karena pemberitaan yang negatif di berbagai surat kabar. Kedua, banyak masyarakat yang tak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Ketiga, masyarakat sudah malas datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Jika kita melihat Pilkada Jakarta 2012 lalu, tingkat Golput mencapai angka 33,2 persen dari kurang lebih 7 juta pemilih. Sementara Pilkada Jawa Barat dengan jumlah pemilih sekitar 32,5 juta orang, mempunyai angka Golput mencapai 32,23 persen (10.474.750 DPT). Yang mengagetkan, angka Golput di Pilkada Sumatra Utara mencapai 54 persen (10.295.013 DPT).
Dari hasil ketiga pilkada tersebut membuktikan, tingkat partisipasi masyarakat memilih masih sangat rendah.
Saat ini KPU sudah membuka pendaftaran calon legislator baik DPR, DPD ataupun DPRD. Pendaftaran tersebut dibuka sejak tanggal 9 April hingga 22 April 2013. Di tahap ini kita belum mendapat gambaran kesungguhan partai mengikuti Pemilu 2014. Keterlambatan dan pengumpulan caleg yang belum baik kualitas masih dilakukan partai. Jelas, partai belum mempersiapkan jauh-jauh hari dalam menentukan siapa yang layak dijual ke pasar (publik).
Partai masih sibuk dalam menerima para caleg dalam jumlah yang banyak agar meraup keuntungan. Ini merupakan lahan basah setiap partai. Pasalnya partai akan mendapat pemasukan dari pendaftaran.
Perilaku partai yang “sembarang†menerima caleg sama saja memaksa masyarakat Indonesia memilih caleg yang tersedia, bukan terbaik.
Ini sesuai dengan pendapat Akademisi Universitas Paramadina, Anis Baswedan. Di banyak seminar Anis mengatakan, demokrasi di Indonesia bukan memilih yang terbaik tapi lebih memilih yang tersedia.
Tingginya angka Golput di pemilu dan pilkada sebelumnya semestinya bisa membuat para partai lebih sadar memperbaiki. Sayangnya, partai malah asik membuka pendaftaran caleg berdasar keuntungan tanpa ada kriteria kualitas negarawan.
Sesungguhnya rakyat memanti caleg yang berkualitas. Penyeleksian yang yang baik harus dilakukan partai jika mau mengurangi angka Golput di Pemilu 2014.
Penulis menganalogikan, masyarakat sebagai pemesan makanan dan partai sebagai yang meramu atau meracik hidangan. Seorang koki selayaknya menawarkan kepada pemesan makanan, apa yang ingin mereka makan. Koki tinggal menyediakan dan masyarakat yang menilai apakah makanan tersebut lezat untuk disantap atau kurang bumbu sehingga tak layak untuk disantap.
Apakah sebuah partai mampu menyediakan caleg yang layak santap? Jika layak, masyarakat akan memilihnya. Jika tidak layak, masyarakat akan enggan memilih. Dan mungkin masyarakat akan pergi dan tidak mau makan dari racikan partai tersebut.
Jika kubutuhan selera rakyat terhadap caleg sudah dipenuhi oleh 15 partai Pemilu 2014, Golput akan menurun. Partisipasi pemilih meningkat dengan hasil anggota dewan yang jujur, profesional, akuntabel dan terbuka. Pemerintahan akan bersih dari segala praktek korupsi. []
AHMAD HALIM
Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Jakarta
Staf Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi DKI Jakarta