August 8, 2024

Revisi Tiga Pasal Urgen Diatur di Perpu Penundaan Pilkada

Koalisi masyarakat sipil yang terdiri atas Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), dan Rumah Kebangsaan mendorong Presiden agar segera mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) penundaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020. Perpu dipandang tak perlu memuat banyak materi perubahan Undang-Undang (UU) Pilkada. Tiga pasal urgen untuk dimuat di dalam perpu.

“Kalau untuk mengubah materi UU Pilkada, maka materi akan sangat banyak. Kalau minimalis, kita tetap menggunakan UU Pilkada yang hari ini untuk menyelenggarakan Pilkada yang normal. Argumentasinya, kita masih mengharapkan penyelenggara pemilu untuk melaksanakan Pilkada dalam kondisi normal,” kata Peneliti Pusako Universitas Andalas, Charles Simabura pada webkusi “Urgensi dan Substansi Perpu Pilkada” (29/4).

Pasal pertama yang mesti diubah di dalam perpu yakni Pasal 122. Pasal yang direvisi mesti memberikan kewenangan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI untuk menunda Pilkada .

“Ini untuk memberikan landasan bagi KPU karena bencana yang teritorinya meluas seperti sekarang, Pasal 122 tidak memberikan legitimasi kuat untuk KPU. Yang ada hanya mekanisme bottom up,” ujar Charles.

Pasal kedua, yaitu Pasal 166. Koalisi merekomendasikan Presiden untuk menambahkan dua ayat. Satu ayat mengatur agar anggaran Pilkada yang telah dianggarkan sebelum terjadinya penundaan tetap berlaku dan bisa digunakan untuk pendanaan pelaksanaan Pilkada lanjutan dan Pilkada susulan. Satu ayat lagi menormakan agar apabila terjadi kekurangan anggaran, dana tambahan disediakan oleh Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN).

“Kalau terdapat kekurangan, maka dibebankan ke APBN. Tidak memintanya melalui APBD (APB Daerah). Kalau melalui APBD, kembali lagi ke dinamika daerah yang cukup dinamis,” tukas Charles.

Pasal ketiga, Pasal 201. Koalisi menambahkan ayat 6a dengan bunyi “Dalam hal pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditunda, maka pelaksanaan pemungutan suara lanjutan dilakukan paling lambat pada bulan September tahun 2021”.

“Kita dari maysarakat sipil mengusulkan ini paling lambat dilaksanakan September 2021, atau dilaksanakan pada September 2021. Kenapa pakai kata paling lambat? Karena dengan optimis, kita berharap Covid (Coronavirus disease) cepat selesai sehingga Pilkada bisa dilaksanakan lebih awal,” tandas Charles.

Koalisi tak menganjurkan Pilkada Serentak 2020 dilaksanakan pada 9 Desember 2020. Waktu tersebut dianggap terlalu mepet dengan selesainya masa tanggap darurat Covid yang berakhir pada 29 Mei, dan kemungkinan diperpanjang. Koalisi merekomendasikan Pilkada Serentak 2020 dilakukan di masa normal, agar KPU tak dibebankan dengan adaptasi aturan teknis yang diprediksi akan banyak.

“Kita tetap mendoronng idealnya itu dilakukan di September 2021 dengan mekanisme Pilkada yang normal berdasarkan UU Pilkada yang hari ini. Sehingga, kerja KPU tidak terlalu banyak untuk melakukan penyesuaian,” ucap Charles.

Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini memandang bahwa Pilkada Serentak yang dilaksanakan pada 2021 akan lebih memberi kepastian hukum, menjaga aspek kemanusiaan pemilu, dan memberikan ruang kepada semua pihak untuk fokus pada penanganan wabah Covid-19. Jika Pilkada dilaksanakan di masa pandemik, bantuan penanganan Covid rentan dipolitisasi.

“Kalau 2021, semuanya bisa berkonsentrasi penuh untuk penanganan Covid. Tidak pecah, apalagi politisasi bantuan Covid. Itu kan juga dipicu oleh ketidakpastian,” ujar Titi.