Awal April lalu, definisi KPU tentang petahana (incumbent) dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) dinilai telah melangkahi undang-undang. Hampir seluruh Anggota Panitia Kerja PKPU, yang di antaranya adalah Anggota Komisi II DPR RI, menilai bahwa KPU terlalu berlebihan dalam menafsirkan makna petahana dalam peraturannya. Setelah melalui pembahasan yang demikian alot, pada akhirnya KPU menyetujui rekomendasi DPR untuk hanya memaknai petahana sebagai, mereka yang menjabat. “Tentang petahana atau dinasti, menurut kami itu tak perlu diperluas,†kata Anggota Komisi II dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Willy M. Yoseph.
Sesungguhnya, KPU RI memperluas peraturan terkait petahana untuk membatasi dinasti politik di daerah. Dalam peraturannya, KPU tak memperbolehkan kerabat petahana mencalonkan diri di provinsi, atau kabupaten/kota yang berada di wilayah kekuasaan petahana yang bersangkutan. Dalam peraturan itu KPU sama sekali tak bermaksud untuk menghilangkan hak konstitusional warga negara. Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KODE) Inisiatif, Veri Junaidi mengatakan, peraturan tersebut hanya membatasi pengaruh kekuasaan petahana agar proses demokrasi di daerah berjalan lebih adil.
Jika DPR berkeras menolak terobosan yang dibuat oleh KPU terkait pemaknaan petahana dalam PKPU, Senin (4/5) lalu lembaga legislatif itu menyayangkan sikap KPU yang berpegang teguh pada undang-undang terkait keabsahan kepengurusan partai, Golkar dan PPP, yang hingga saat ini masih bersengketa, dan belum mendapat putusan pengadilan yang berkekuatan selesai dan mengikat.
“Yang paling penting adalah, kalau mengikuti aturan yang rigid (kaku) itu, maka kedua partai ini (Golkar dan PPP) tidak bisa ikut pilkada. KPU akan meniadakan kedua partai ini sebagai peserta pilkada. Kita tidak mau itu. Kita ingin setiap parpol itu lah yang berhak mengajukan paslon (pasangan calon). Terserah, bisa siapa saja. Jalan yang ditempuh KPU itu mau menghambat partai ini mengikuti pilkada,†kata Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon, usai mengadakan rapat tertutup pembahasan PKPU di Ruang Pimpinan DPR RI, Senin lalu.
Usai rapat, Komisioner KPU RI, Hadar Nafis Gumay mengatakan, pihaknya tak akan mengubah PKPU yang telah mereka tetapkan pada 30 April lalu. Dalam PKPU tersebut, KPU tak mengakomodir satu dari tiga rekomendasi DPR terkait keabsahan kepengurusan partai yang sedang bersengketa. Soal legalitas kepengurusan partai, sesuai dengan UU No. 2/2011 tentang Partai Politik, KPU tetap akan berpegang pada Surat Keputusan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (SK Kemenkumham). Jika SK tersebut kemudian disengketakan, maka KPU akan menunggu putusan pengadilan yang bersifat inkracht. Jika putusan itu tak juga terbit saat tahap pendaftaran pasangan calon telah dimulai, 26 Juli mendatang, partai-partai yang sedang bersengketa itu tak memiliki pilihan lain selain menempuh jalan islah.
Alih-alih mendorong partai-partai tersebut untuk menempuh jalan islah, DPR merekomendasikan agar KPU dapat menggunakan putusan pengadilan terakhir sebagai dasar untuk menentukan legalitas kepengurusan partai yang sedang bersengketa. Rekomendasi itu jelas akan menimbulkan masalah di kemudian hari.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil mengatakan, itu adalah rekomendasi yang sangat tidak ideal. Jika putusan pengadilan yang lebih tinggi ternyata berbeda dengan putusan pengadilan terakhir, yang sampai saat ini berupa penangguhan SK Kemenkumham oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), keputusan KPU terancam disengketakan di kemudian hari.
Rekomendasi itu juga berpotensi menjalarkan konflik internal, yang terjadi di tingkat pusat, sampai ke daerah. Hingga saat ini belum ada bukti bahwa perselisihan internal yang terjadi pada kepengurusan partai di tingkat pusat juga terjadi di daerah. Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Nasrullah mengatakan, “Saya sempat temui di beberapa daerah, di salah satu kabupaten di Sulawesi Tenggara, menurut mereka, tak ada perpecahan.â€
Jika daerah telah mengajukan paslon mereka dengan menggunakan persetujuan kepengurusan sementara berdasarkan putusan pengadilan terakhir, dan kemudian putusan pengadilan berikutnya ternyata memutuskan bahwa kepengurusan tersebut tidak sah, konflik di daerah tak akan bisa dihindari. Ini membuktikan bahwa rekomendasi DPR adalah rekomendasi yang emosional. Mereka tak berpikir potensi konflik yang terjadi di kemudian hari.
Dalam hal peraturan yang membatasi dinasti politik, DPR menolak terobosan KPU, sekalipun terobosan itu dibuat dengan semangat yang terkandung di dalam undang-undang, yaitu semangat untuk membangun proses demokrasi yang lebih adil di daerah. Dalam hal legalitas kepengurusan partai, DPR berharap KPU membuat terobosan yang tak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Mendasarkan legalitas partai pada keputusan pengadilan terakhir tak diatur dalam undang-undang, baik itu undang-undang partai politik, maupun undang-undang pilkada, dan oleh karena itulah KPU tak bisa mengakomodir rekomendasi tersebut. Dan, dengan kekuasaannya sebagai pembuat undang-undang, DPR mencari jalan keluar (atau jalan pintas?) dengan wacana untuk melakukan perubahan atas kedua undang-undang tersebut.
Jika DPR benar-benar melakukan perubahan atas undang-undang partai politik dan undang-undang pilkada, arah keberpihakan lembaga legislatif tersebut jelas bukan ke arah kepentingan masyarakat luas. Masyarakat tak punya urusan dengan perselisihan internal para elite partai di tingkat pusat. Melakukan perubahan atas undang-undang dan menghindari jalan islah adalah juga memelihara perselisihan berlarut-larut. Dalam hal ini, tentu partai-partai lain yang tak sedang bersengketa akan lebih diuntungkan dalam kontestasi Pilkada Serentak 2015 mendatang.
Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini mengatakan, perubahan undang-undang oleh DPR akan semakin menegaskan kemandirian KPU. DPR telah gagal memengaruhi KPU untuk meloloskan partai-partai yang sedang berselisih sehingga lembaga legislatif itu terpaksa harus memanfaatkan kewenangan atas undang-undang. DPR bisa saja melakukan perubahan atas undang-undang, tapi kepercayaan masyarakat terhadapnya jelas akan semakin terkikis. Sebab, untuk apa perubahan itu jika bukan untuk kepentingan elite partai semata? []
BAGUS PURWOADI
Jurnalis rumahpemilu.org