August 8, 2024

Rezim Administrasi Pemilu (2)

Tulisan ini melanjutkan artikel Rezim Administrasi Pemilu yang dimuat Kompas edisi 19/11/2012. Jika artikel itu membahas pengetatan persyaratan administrasi partai politik peserta pemilu yang mengabaikan substansi kelayakan parpol mengikuti pemilu, kali ini akan membahas soal banyaknya persyaratan administrasi bakal calon anggota legislatif (caleg) yang membuat parpol dan caleg kehilangan haknya mengikuti pemilu.

Sebelumnya KPU mengumumkan hasil verifikasi kelengkapan administrasi daftar caleg dan bakal caleg. Mencengangkan, dari 6.028 bakal caleg, 4.701 bakal caleg tidak memenuhi syarat administrasi. Bahkan dari 12 parpol peserta pemilu, terdapat tiga parpol (PKS, PPP, dan PKPI) yang tak satu pun bakal calegnya memenuh syarat.

Waktu satu pekan yang diberikan KPU untuk melengkapi semua persyaratan, ternyata tidak dimanfaatkan dengan baik oleh semua bakal caleg.  Menurut KPU, masih ada beberapa bakal caleg tidak memenuhi persyaratan sehingga terpaksa dinyatakan gugur. Celakanya, mereka yang gugur adalah bakal caleg perempuan, sehingga menyebabkan kegagalan parpol dalam memenuhi kuota 30% caleg perempuan.

Akibatnya, empat parpol tak bisa ikut pemilu DPR di tujuh daerah pemilihan: PAN di Sumbar I; Partai Gerindra di Jabar IX; PPP di Jateng III dan Jabar II, dan; PKPI di Jabar V, Jatim VI dan NTT I. Kegagalan itu tidak hanya merugikan parpol dan bakal caleg yang tidak memang memenuhi syarat, tetapi juga bakal caleg di satu daerah pemilihan sama yang telah memenuhi semua syarat. Kondisi di DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota tentu lebih buruk.

16 Persyaratan

UU No. 8/2012 menetapkan 16 syarat caleg: (a) umur 21 tahun; (b) bertaqwa; (c) tinggal di NKRI; (d) cakap berbahasa Indonesia; (e) tamat SMA atau sederajat; (f) setia kepada Pancasila; (g) tidak pernah dipidana penjara dengan ancaman lima tahun; (h) sehat jasmani dan rohani; (i) terdaftar sebagai pemilih; (j) bersedia bekerja penuh waktu; (k) mengundurkan jabatan kepala daerah, PNS, TNI, direksi BUMN, dll; (l) bersedia tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat, notaris, dll; (m) bersedia tidak merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya; (n) menjadi anggota parpol; (o)  calon di satu lembaga perwakilan; dan (p) calon di satu daerah pemilihan.

Selanjutnya, Peraturan KPU No. 7/2013 membuat tiga jenis pemenuhan persyaratan tersebut: (1) fotokopi dokumen diri, seperti KTP/paspor, ijazah, dan kartu anggota parpol; (2) surat keterangan dari dokter, kepala LP, dan PPS/KPU, dan; (3) surat pernyataan berumur 21 tahun, berstatus WNI, cakap berbasa Indonesia, setia kepada Pancasila, tidak pernah dijatuhi hukuman pidana, bersedia kerja penuh waktu, bersedia mengundurkan diri dari jabatan tertentu, bersedia tidak menjalani profesi, bersedia tidak rangkap jabatan, serta dicalonkan satu partai dan satu daerah pemilihan. Selain itu, KPU juga mewajibkan bakal caleg membuat daftar riwayat hidup dan foto diri.

Tentu saja jika salah satu syarat itu tidak dipenuhi, maka bakal caleg gagal mejadi caleg sehingga namanya tidak masuk dalam daftar caleg sementara/daftar caleg tetap. Pertanyaannya, apakah semua syarat itu demikian penting sehingga bisa memastikan seseorang itu pantas atau tidak pentas menjadi caleg? Lalu, apakah semua persyaratan tersebut harus dipenuhi sebelum pemilihan?

Sempat terjadi perdebatan sengit soal syarat pendidikan minimal bagi wakil rakyat,  mengingat banyak tokoh masyarakat hebat yang tidak menempuh pendidikan formal. Bila memang anggota DPR/DPRD harus berijazah SMA atau sederajat, mestinya syarat cakap berbahasa Indonesia tidak perlu disertakan, karena sudah dengan sendirinya lulusan SMA bisa berbahasa Indonesia. Lagi pula rasanya tidak mungkin orang tidak bisa berbahasa Indonesia nekat menjadi wakil rakyat. Jadi, persyaratan pendidikan dan berbahasa itu sesungguhnya membodohi akal sehat masyarakat.

Sebetulnya tidak semua syarat harus dipenuhi caleg. Sebagian bisa ditetapkan sebagai syarat calon terpilih sebelum dilantik menjadi anggota DPR/DPRD. Misalnya, dokumen kesediaan untuk mundur dari jabatan tertentu, tidak merangkap jabatan, tidak menjalani praktik profesi tertentu, dan bekerja sepenuh waktu, bisa diteken sebelum pelantikan. Mereka yang menolak meneken dokumen tersebut, dibatalkan pelantikannya sebagai anggota DPR/DPRD. Syarat sehat jasmani dan rohani bisa masuk kategori ini, sebab inilah syarat yang paling merepotkan bakal caleg karena mereka harus berkorban waktu, tenaga dan uang, padahal belum tentu terpilih. Ingat dari 6.028 bakal caleg DPR, yang terpilih hanya 560 orang saja.

Menghadang Lawan

Dengan membuat syarat caleg yang masuk akal sehat masyarakat dan memindahkan sebagian syarat itu ke syarat pelantikan, maka berkas administrasi bakal caleg bisa diminimalkan. Hal ini tidak hanya mempermudah parpol dan bakal caleg untuk mengikuti pemilu, tetapi juga meringankan KPU dalam mengelola administrasi pemilu. Jadi, dalam proses pencalonan ini tidak berlaku dalih yang sering menyesatkan, “demokrasi memang mahal”.

Dalih itu memang sering digunakan politisi dan pejabat pemerintah pembuat undang-undang pemilu, ketika merumuskan berbagai persyaratan administrasi penyelenggaraan pemilu. Padahal yang sesungguhnya terjadi adalah pengulangan watak buruk Orde Baru. Bedanya, jika Orde Baru mengunakan ketentuan-ketentuan adminstrasi untuk menghambat partisipasi politik rakyat, kini mereka menggunakannya untuk menghambat laju lawan politik.

Tentu kita masih ingat kehendak sebagian politisi untuk menaikkan syarat pendidikan S-1 baik bagi caleg maupun calon presiden, yang targetnya adalah menghambat Megawati. Demikian juga syarat sehat jasmani dan rohani yang diperketat, tidak lain adalah upaya mencegah Abdurrahman Wahid untuk menjadi calon presiden. Inilah salah satu ironi demokrasi kita: menggunakan ketentuan-ketentuan administrasi untuk menghindari kompetisi yang fair. []

DIDIK SUPRIYANTO
Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)