November 15, 2024

Rezim Penegakan Hukum Pemilu di Tangan Bawaslu yang Makin Kuat

Kewenangan Bawaslu disebut lebih kuat dari KPK.

Bicara soal penegakan hukum pemilu, berarti bicara soal dua hal: pelanggaran pemilu dan sengketa pemilu. Pelanggaran pemilu terdiri atas pelanggaran pidana, pelanggaran administrasi, dan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu. Sementara sengketa pemilu terbagi atas sengketa hasil dan sengketa nonhasil pemilu atau sengketa dalam proses pemilu.

Undang-undang 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) memuat terobosan penguatan kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam menegakkan hukum pemilu. Selain soal tindak pidana pemilu, kewenangan kuat yang paling mencolok adalah menindak dan memutus pelanggaran administrasi. Bawaslu hingga tingkat kabupaten/kota berwenang mengeluarkan putusan terhadap pelanggaran administrasi.

Meski makin kuat, Rahmat Bagja, anggota Bawaslu, mengaku tak akan bertumpu pada kewenangan baru tersebut. Bawaslu juga akan melakukan upaya pencegahan maksimal sebelum menggunakan kewenangan baru untuk menindak pelanggaran.

“Proses penanganan pelanggaran administrasi adalah hal terakhir yang dilakukan jika pencegahan telah dilakukan,” kata Rahmat Bagja pada diskusi “Penanganan Pelanggaran Pemilu yang Berdampak pada Diskualifikasi Calon” di Gondangdia, Jakarta Pusat (2/10).

Pidana pemilu yang bisa ditindak langsung Panwascam

Dalam tindak pidana pemilu, lembaga pengawas paling bawah yang bisa meneruskan laporan tindak pidana pemilu ke kepolisian adalah panitia pengawas tingkat kecamatan. Di undang-undang sebelumnya, tak jelas panitia pengawas tingkat mana yang boleh melaporkan ke kepolisian.

Pasal 476 ayat (1) UU Pemilu menyebut, laporan dugaan tindak pidana pemilu diteruskan oleh Bawaslu, Bawaslu provinsi, Bawaslu kabupaten/kota, dan/atau Panwaslu kecamatan kepada Kepolisian paling lama 1×24 jam sejak ditetapkan bahwa perbuatan atau tindakan yang diduga merupakan tindak pidana pemilu. Penetapan suatu perbuatan adalah tindak pidana pemilu dilakukan setelah berkoordinasi dengan Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu).

UU Pemilu juga memberi keleluasaan pada penyidik kepolisian dalam menyampaikan hasil penyidikan. Penyampaian hasil penyidikan disertai berkas perkara kepada penuntut umum paling lama 14 hari sejak diterimanya laporan dan dapat dilakukan dengan tanpa kehadiran tersangka.

“Jadi, jauh lebih baik. Sebab dulu, berdasarkan UU lama, kalau tersangka gak dateng-dateng, macet laporannya. Nah, dengan auran ini bisa jalan terus,” tukas Peneliti Perludem, Fadli Ramadhanil, pada diskusi “Desain Penegakan Hukum Pemilu dalam UU No.7/2017” di Tebet, Jakarta Selatan (18/9).

Menuju lembaga kuasi peradilan

Penguatan Bawaslu yang paling mencolok adalah kewenangan menindak dan memutus pelanggaran administrasi dalam mekanisme persidangan di Bawaslu hingga tingkat kabupaten/kota. Di undang-undang sebelumnya, kesimpulan bahwa sebuah tindakan dianggap sebagai pelanggaran dikeluarkan dalam produk rekomendasi. Kini, kesimpulan tersebut dikeluarkan dalam bentuk putusan. Bawaslu kabupaten/kota bisa mengeluarkan putusan yang bersifat pertama dan terakhir.

Semisal Bawaslu menerima laporan bahwa pasangan calon presiden tertentu melakukan pelanggaran administrasi berupa pemasangan alat peraga kampanye di jalan protokol. Bawaslu akan menghadirkan pelapor sekaligus terlapor untuk saling menjelaskan laporan dan membela diri. Setelah proses itu, Bawaslu akan menyimpulkan tindakan tersebut adalah sebuah pelanggaran melalui putusan selayaknya putusan pengadilan, bukan lagi rekomendasi.

“Rekomendasi itu kan bentuknya, ‘berdasarkan pemeriksaan tanggal sekian, lalu Bawaslu merekomendasikan pada KPU untuk menurunkan alat peraga dan lain-lain.’ Rekomendasi itu semestinya bisa dilaksanakan bisa tidak. Kini, putusan dia semacam putusan pengadilan yang kemudian tidak perlu diteruskan ke KPU, tapi sifatnya KPU melakukan putusan ini. Wajib melaksanakan putusan,” kata Fadli.

Lebih jauh lagi, Bawaslu punya wewenang mendiskualifikasi peserta pemilu yang melakukan pelanggaran politik uang. Pasal 286 ayat (1) UU Pemilu melarang peserta pemilu, pelaksana kampanye, dan/atau tim kampanye menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi penyelenggara pemilu dan/atau pemilih. Pasangan calon presiden dan calon legislator yang terbukti melakukan pelanggaran tersebut dapat dikenai sanksi administratif pembatalan sebagai calon.

Posisi Bawaslu dalam konteks ini sudah semi peradilan. Ia berwenang mengumpulkan barang bukti, membuktikan kesalahan pelaku politik uang, dan berwenang memutuskan kesalahan itu terbukti atau tidak.

“Kalau di tindak pidana korupsi, seperti KPK, hanya sampai penuntutan. Penyidikan, penyelidikan, penuntutan. Sementara yang memutus hakim pengadilan. Untuk pelanggaran politik uang ini, Bawaslu bisa menindak dari awal hingga jadi hakim yang memutuskan,” kata Fadli.

Bawaslu yang permanen hingga tingkat kabupaten/kota

Untuk menunjang kewenangan besar tersebut, Bawaslu dipermanenkan hingga kabupaten/kota. UU Pemilu juga mengamanatkan penyesuaian jumlah anggota Bawaslu dengan didasarkan pada kriteria jumlah penduduk, luas wilayah, dan jumlah wilayah administratif pemerintahan.

“Penguatan fungsi bawaslu secara bertahap terus dilakukan. Dari kelembagaan, karena kita melakukan evaluasi, kelembagaan berevolusi jadi permanen untuk memperkuat sistem pengawasan pemilu di Indonesia,” kata Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Ahmad Baidowi, pada diskusi “Penanganan Pelanggaran Pemilu yang Berdampak pada Diskualifikasi Calon” di Gondangdia, Jakarta Pusat (2/10).

Hingga saat ini, Bawaslu belum merekrut anggota Bawaslu tambahan. Bawaslu masih menggodok peraturan teknis sebagai turunan dari aturan peralihan di UU 7/2017.

“Kami sadar betul ini segera akan kami konsultasikan tata cara pemenuhan bagaimana peralihan Panwas–yang tiga–nanti jadi Bawaslu–yang lima. Apakah dengan mekanisme seleksi semuanya, atau tiga dievaluasi tambah dua, atau seleksi lima-limanya,” kata Abhan, ketua Bawaslu (24/8).

Bawaslu kabupaten/kota yang baru dipermanenkan ini menjadi tantangan tersendiri bagi kekuatan Bawaslu. Bawaslu harus menyiapkan sumber daya manusia beserta supporting system yang kuat untuk menunjang kewenangan baru Bawaslu.

“Sampai sekarang pastinya Bawaslu kabupaten/kota belum punya sekretariat—baik dalam bentuk gedung maupun dalam bentuk supporting SDM. Statusnya baru beralih dari ad hoc ke permanen,” ujar Fadli.

Veri Junaidi, Ketua Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif, berpendapat kewenangan-kewenangan ini seharusnya bisa ditarik ke pusat saja. Memberi kewenangan menerbitkan putusan, apalagi mendiskualifikasi, pada Bawaslu kabupaten/kota dinilai riskan. Ia dekat dengan titik konflik. Tekanan dari peserta pemilu akan berpengaruh pada kemandirian Bawaslu. Apalagi jika instrumen hukum acara, mekanisme pemeriksaan, kepemahaman sekretariat untuk mendukung proses penyelesaian sengketa belum begitu kuat.

“Kewenangan ini ditarik ke pusat saja. Menjauhkan dari konflik di kabupaten/kota,” tandas Veri.

Sementara Ahmad Baidowi berharap Bawaslu RI melakukan supervisi dengan baik terhadap jajaran Bawaslu di bawah untuk menghindari kesalahan putusan oleh Bawaslu daerah. Bawaslu RI merupakan penanggung jawab akhir pengawasan pemilu.

“SDM (sumber daya manusia) pengawas di bawah gak bisa disamakan dengan SDM di Jakarta. Apalagi sekarang baru mau permanen. Hal-hal seperti itu kita akomodir, dengan Bawaslu melakukan supervisi,” ujar Baidowi.

Kewenangan kuat telah disematkan. Saatnya Bawaslu menunjukkan taringnya di lapangan dengan bersikap tegas tanpa pandang bulu menindak semua pihak yang terbukti melakukan pelanggaran pemilu sesuai dengan peraturan perundang-undangan.