Konsep penegakan hukum dalam pelaksanaan Pilkada Serentak 2015 tak memberi ruang bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mempertanggungjawabkan keputusannya.
Dalam konsep keadilan pemilihan, ruang itu hanya tersedia bagi peserta pemilihan. Jika peserta pemilihan tak puas oleh keputusan penyelenggara, dalam hal ini KPU provinsi atau kabupaten/kota, mereka bisa mengajukan gugatan ke Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
“Ini bukan hal yang sama sekali baru. Dalam pileg (Pemilu Legislatif) yang lalu, sebetulnya juga sudah diatur tentang konsep keadilan pemilu melalui proses penyelesaian sengketa TUN pemilu, yang kembali diadopsi dalam pilkada kali ini,†kata Komisioner KPU RI, Ida Budhiati, di Gedung Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Jakarta Pusat (30/9).
Namun demikian, berbeda halnya dengan pileg, dalam pilkada serentak kali ini fatwa Mahkamah Agung (MA) telah menyatakan bahwa Bawaslu RI tak lagi memiliki wewenang untuk menyelesaikan perkara administrasi. Wewenang untuk menyelesaikan perkara administrasi pemilihan tak hanya diberikan kepada Bawaslu di tingkat provinsi, seperti pada penyelenggaraan pileg lalu, melainkan juga kepada Panwaslu di tingkat kabupaten/kota, yang notabene bersifat ad hoc, sementara Bawaslu RI tak diberikan wewenang untuk mengoreksi baik keputusan Bawaslu provinsi maupun Panwaslu.
Dipandang dari dimensi waktu, tentu hal itu menjadi tantangan tersendiri bagi Bawaslu RI untuk merekrut anggota badan ad hoc, dan melakukan pelatihan agar mereka dapat menjalankan fungsi sebagai badan kuasa peradilan.
Hal itu menjadi tantangan tersendiri, sebab badan ad hoc tersebut akan mengeluarkan putusan yang bersifat selesai dan mengikat. Sementara keputusan semacam itu hanya bisa diputus oleh mereka yang berlatar belakang sarjana hukum.
“Kedudukan kami, KPU, dalam konsep keadilan pemilihan, adalah sebagai termohon. Kalau di PTTUN (Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara) sebagai tergugat. Kami tidak diberikan ruang untuk mengajukan upaya hukum terhadap keputusan Panwaslu, juga terhadap keputusan PTTUN,†sambung Ida.
Menurutnya, KPU, sebagai pejabat tata usaha negara, seharusnya juga diberikan ruang untuk melakukan upaya hukum, bukan demi tujuan menang-kalah, melainkan untuk mempertanggungjawabkan keputusannya. “Berilah kesempatan kepada KPU untuk mempertanggungjawabkan keputusannya, sehingga tidak terjadi disparitas (ketimpangan) keputusan, karena tidak ada satu tingkat lembaga di atas yang berwenang untuk mengoreksi keputusan itu,†ujarnya.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil mengatakan, ketimpangan itu antara lain dapat dilihat pada sifat selesai dan mengikat putusan Panwaslu, yang hanya berlaku jika putusan itu menguntungkan peserta pemilihan. “Kalau seandainya bakal calon dirugikan oleh keputusan itu, maka keputusannya tidak final dan mengikat lagi. Ada upaya hukum yang bisa dilakukan oleh bakal calon,†ujarnya.
Untuk itu, ke depan, Fadli mengatakan, jika wewenang untuk menyelesaikan sengketa administrasi masih akan diberikan kepada Panwaslu, pertimbangan hukum Panwaslu dalam menyelesaikan sengketa harus dibangun, agar pihak yang bersengketa, yakni peserta dan penyelenggara pemilihan mendapatkan kepastian hukum. “Siapa pun nanti lembaga yang akan menyelesaikan sengketa administrasi ini tetap harus—tidak boleh keluar dari prinsip-prinsip penyelesaian sengketa administrasi, bahwa yang mengunci itu PTUN,†tambahnya.
Sementara itu, Ida mengatakan, kedudukan Bawaslu dalam penyelesaian sengketa administrasi harus jelas. Jika Bawaslu ditempatkan sebagai lembaga banding administrasi, maka keputusannya dapat menjadi batu uji ke PTUN. “Saya bicara dari dimensi kerangka hukum keadilan pemilu, tidak hanya kepada peserta, tapi juga kepada penyelenggara,†kata dia.
BAGUS PURWOADI