Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dari Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Rufinus Hutauruk, menyebut definisi terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) di Undang-Undang (UU) No.10/2016 aneh. TSM semestinya tak membatasi penegakan hukum pemilu dengan menekankan pelanggaran kepada pihak-pihak tertentu. Orang per orang, dapat menjadi subjek hukum dalam definisi terstruktur.
“Sebenarnya terstruktur itu bukan pada manusianya, tapi perbuatannya. UU itu tidak benar. Jadi, TSM itu sebuah perbuatan melawan hukum, bukan subjeknya,” tegas Rufinus pada rapat dengar pendapat di Senayan, Jakarta Pusat (24/8).
Ratna Dewi Pettalolo, Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), menjelaskan bahwa kerja Bawaslu akan dipermudah apabila definisi TSM diperluas seperti konsep yang diajukan oleh Rufinus. Pasalnya, setiap laporan yang masuk dapat diproses tanpa memilah terlebih dulu laporan yang melibatkan aparat Pemerintah dan penyelenggara pemilu.
“Kami sangat tertarik dengan pikrian-pikiran progresif dari Pak Rufinus. Jika forum berkeinginan untuk memasukkan itu di dalam Perbawalsu, kami sangat menerima karena memperluas ruang gerak kami,” ujar Ratna.
Ketua Bawaslu, Abhan, menjelaskan bahwa penegakan politik uang terdiri atas dua kategori, yakni politik uang TSM dengan sanksi administrasi berupa diskualifikasi dan politik uang individual dengan sanksi pidana. Pelanggaran politik uang berawal dari pelanggaran pidana. Apabila pada proses penyelidikan melibatkan pelanggaran politik uang yang terjadi di semua wilayah administrasi, ada keterlibatan penyelenggara pemilu dan aparatur sipil negara (ASN), maka pelanggaran politik TSM bisa diterapkan. Jika tidak melibatkan kasus pelanggaran politik uang di wilayah lainnya dan tidak melibatkan penyelenggara pemilu dan ASN, maka pelaku dikenakan sanksi pidana.