August 8, 2024

RUU Pemilu: Potret Kegagapan Pemerintah dan DPR Melaksanakan Mandat MK

Awal tahun 2014, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan Putusan No.14/2013 tentang pemilu serentak. Putusan tersebut hadir sebagai jawaban atas permohonan yang diajukan oleh Effendi Ghazali terhadap tafsir Pasal 22 E Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Dalam Putusan, MK menyatakan bahwa pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg) dilaksanakan secara serentak, namun MK tak menyatakan bahwa pemilu serentak harus dilaksanakan pada 2014. Adapun MK mengingatkan bahwa butuh waktu untuk menyelenggarakan pemilu serentak, sebab pembentuk UU mesti menyiapkan landasan hukum yang komprehensif, serta membangun budaya hukum baru di masyarakat.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menilai bahwa Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tak menjalankan mandat Putusan MK dengan baik. Bahkan, perkembangan yang selama ini terjadi menunjukkan kegagapan Pemerintah dan DPR dalam membahas RUU Pemilu.

“Mestinya, baik Pak Jokowi maupun DPR sebagai produk dari Pilpres dan Pileg 2014 paham mandat ini, sehingga persiapan infrastruktur hukum bisa dilakukan dengan baik. Tapi disayangkan, ternyata kita gagap menyiapkan perhelatan pemilu serentak,” tegas Titi pada diskusi “Solusi UI untuk Indonesia” yang diadakan Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI) di Salemba, Jakarta Pusat (18/7).

Kegagapan terlihat melalui sedikitnya dua hal. Pertama, Pemerintah dan DPR terlambat membahas Rancangan UU (RUU) Pemilu sebagai landasan hukum pemilu serentak. Mandat telah keluar sejak awal 2014 dan baru dibahas pada Oktober 2016.

Kedua, pembahasan RUU Pemilu yang terburu-buru mengakibatkan sempitnya ruang pembahasan atas isu-isu strategis yang mampu mendorong clean politic dan clean election. Isu penegakkan hukum pemilu, politik uang, dan akuntabilitas dana kampanye peserta pemilu, nyaris luput dari diskursus.

“Waktu pembahasan sempit, materi pembahasan banyak, tarik-menarik kepentingan kuat. Akhirnya, isu-isu penting soal akuntabilitas tidak banyak dibahas. Kita dibuat abai soal isu clean politic dan clean election,” tukas Titi.

Titi menjelaskan bahwa kegagapan menjalankan mandat Putusan MK mempertaruhkan konsolidasi demokrasi Indonesia. Pemerintah dan DPR mesti menyadari bahwa keduanya telah menyandera penyelenggara pemilu untuk memulai tahapan Pemilu Serentak 2019.

“Penyelenggara pemilu tersandera, karena di satu sisi tak bisa menggunakan UU Pemilu yang lama,  di sisi lain Pemerintah minta penyelenggara pemilu untuk menunggu UU yang baru, agar  anggaran bisa disesuaikan,” jelas Titi.

Kegagapan membahas RUU Pemilu bisa berdampak pada menurunnya kepercayaan publik terhadap persiapan Pemilu Serentak 2019. Pasalnya, publik tak banyak dilibatkan dan isu yang dilontarkan sarat dengan kepentingan partai. Pembentuk UU minim upaya untuk mendorong agar isu RUU Pemilu ditangkap dan mengakar di masyarakat.

“Contohnya, isu metode konversi suara. Mereka membiarkan isu ini hadir di ranah elit saja, tanpa membangun pemahaman kepada masyarakat bahwa isu ini berdampak buat masyarakat. Semestinya mereka bisa menjelaskan apa relasi metode konversi suara terhadap politik representasi,” tutup Titi.