Maret 28, 2024
iden

RUU Pemilu Tak Progresif, Suara Masyarakat Sipil Tak Diakomodasi

Mengawal pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu sejak November 2016, sulit untuk mengatakan bahwa Panitia khusus (Pansus) telah mengakomodasi aspirasi pihak-pihak yang diundangnya pada rapat dengar pendapat (RDP). Pasalnya, dari belasan kelompok yang menyuarakan aspirasi—mulai dari kelompok perempuan, kelompok disabilitas, partai-partai politik baru hingga kelompok diaspora—tak ada satu pun aspirasi substansial yang dimasukkan ke dalam RUU Pemilu per 10 Juni 2017.

Saya harus katakan bahwa Pansus RUU Pemilu praktis mengesampingkan suara masyarakat sipil yang ingin memberikan kontribusi demi perbaikan demokrasi dan pemilu di tanah air. Mari kita runut suara-suara yang tidak diakomodasi.

 

Suara Kelompok Perempuan

Gerakan Pemberdayaan Swara Perempuan (GPSP), Maju Perempuan Indonesia (MPI), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Kaukus Perempuan Parlemen Indonesia (KPPI), dan Aliansi Masyarakat Sipil untuk Perempuan Politik (Ansipol) diundang ke RDP pada 8 Januari 2017. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) juga sempat diundang pada 1 Februari 2017. Bila diakumulasi, empat organisasi beserta KPPA meminta Pansus untuk mengakomodasi tujuh hal, yakni sebagai berikut.

  • 30 persen keterwakilan perempuan di kepengurusan partai politik tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.
  • Menghapus kewajiban pengunduran diri dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) atau instansi lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara bagi perempuan yang mendaftarkan diri sebagai calon legislatif (caleg). Tujuannya, mendorong lebih banyak perempuan untuk masuk ke ranah politik.
  • Panitia seleksi calon anggota legislatif di masing-masing partai harus memuat 30 persen keterwakilan perempuan.
  • Daftar calon memuat 30 persen keterwakilan perempuan, dan partai yang tidak mematuhi aturan mesti didiskualifikasi dari daerah pemilihan (dapil) yang bersangkutan.
  • Perempuan di nomor urut 1 di 30 persen dapil.
  • Apabila anggota legislatif terpilih yang diganti atau mengundurkan diri adalah perempuan, penggantinya mesti perempuan.
  • Apabila terdapat dua atau lebih calon anggota legislatif dengan perolehan suara yang sama, calon terpilih ditetapkan berdasarkan sebaran suara dan mengutamakan keterwakilan perempuan.

Namun, sebab kepentingan partai di atas aspirasi masyarakat, pada 30 Mei 2017 Pansus hanya menyepakati tiga hal terkait afirmasi perempuan. Satu, sekurang-kurangnya terdapat satu orang perempuan dari tiga orang bakal calon di daftar bakal calon atau 30 persen keterwakilan perempuan—Pasal 227 dan 228 RUU Pemilu.

Dua, perempuan di daftar bakal calon dapat ditempatkan pada urutan 1, atau 2, atau 3 dan demikian seterusnya, tidak hanya pada nomor urut 3, 6, dan seterusnya.

Tiga, kepengurusan partai tingkat pusat wajib memenuhi 30 persen keterwakilan perempuan—Pasal 156 ayat (2) huruf e RUU Pemilu. Sedangkan, kepengurusan tingkat provinsi, tingkat kabupaten/kota, dan penyelenggara pemilu cukup “memperhatikan” 30 persen keterwakilan perempuan—Pasal 10, 16, 45, 48, 50,dan 76 RUU Pemilu. Keputusan satu dan dua tak berubah dari peraturan di UU No. 8/2012.

Tawaran blocking seat yang pernah diusulkan oleh Fraksi Hati Nurani Rakyat (Hanura) tak pernah kedengaran lagi wacananya. Usulan substansial yang ditujukan untuk menghentikan pagar regulasi yang menyulitkan perempuan untuk ikut serta dalam politik pemerintaham tak diakomodir. RUU Pemilu tak progresif terhadap isu perempuan.

 

Suara Empat Partai Politik Baru

Aspirasi dari empat partai politik baru yang digadang akan ikut berkompetisi di Pemilu Serentak 2019, yakni Partai Solodaritas Indonesia (PSI), Partai Berkarya, Partai Indonesia Raya (Perindo), dan Partai Idaman, sebenarnya beragam. Akan tetapi, ada dua yang diminta untuk menjamin keadilan pemilu, yaitu diverifikasinya semua partai politik peserta pemilu, baik partai lama maupun partai baru, dan dihapuskannya presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden.

Presidential threshold ini menunjukkan adanya keinginan dari sebuah kekuatan besar untuk mengangkangi calon-calon presiden tertentu. Harus diberikan tempat bagi siapapun juga untuk mencalonkan presiden,” kata Sekretaris Jenderal Perindo, Ahmad Rofiq, pada RDP di Senayan, Jakarta Selatan (8/2).

Aspirasi partai baru terkait ambang batas pencalonan presiden masih tak pasti, tetapi harapan akan keadilan verifikasi partai politik peserta pemilu telah kandas. 30 Mei 2017, Pansus telah menyepakati bahwa selama persyaratan verifikasi tetap, maka partai lama yang telah diverifikasi tak perlu diverifivikasi ulang.

Pasal 156 ayat (3) RUU Pemilu menyebutkan: partai politik yang telah lulus verifikasi dengan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diverifikasi ulang dan ditetapkan sebagai partai politik peserta pemilu.

Partai politik baru akan berjibaku memenuhi persyaratan menjadi partai politik peserta pemilu yang maha berat sebagaimana tertuang pada Pasal 156 ayat (2). Sementara itu, partai politik lama yang pernah lulus verifikasi pada lima tahun yang lalu, selamat dari perubahan situasi keanggotaan yang kemungkinan besar telah berubah.

 

Suara Kelompok Disabilitas

Perwakilan Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) dan Pusat Pemilihan Umum Akses Penyandang Cacat (PPUA Penca) telah menyampaikan aspirasi kepada Pansus pada 16 Februari dan 16 Mei 2017. Mereka meminta kuota sebesar 10 persen di daftar calon dengan 2 persen diletakkan di nomor urut jadi. Mereka juga meminta kemudahan dalam persyaratan menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), yakni 50 persen dari jumlah dukungan yang dibutuhkan.

“Jumlah disabilitas 10 hingga 15 persen dari total penduduk Indonesia. Boleh dong kami minta kuota 10 persen di daftar pilih dengan 2 persen di nomor urut kecil? Jadi, nomor urut satu sampai lima, salah satunya ada calon disabilitas,” kata Ketua Umum PPDI, Gufroni Sakaril, di Senayan Jakarta Selatan (16/2).

Sayangnya, gayung tak bersambut. Tak ada satu pun dari dua usulan progresif tersebut yang dimasukkan. Satu-satunya pasal baru tentang disabilitas yakni Pasal 5 yang berbunyi:  Penyandang disabilitas yang memenuhi syarat mempunyai kesamaan kesempatan sebagai pemilih, calon anggota DPR, calon anggota DPD, calon presiden/wakil presiden, calon anggota DPRD, dan penyelenggara pemilu.

Tak ada afirmasi untuk kelompok disabilitas. PPDI dan PPUA Penca mesti gigit jari.

 

Suara Diaspora Indonesia

Menjelang masa akhir penyusunan RUU Pemilu, Diaspora Indonesia diberikan kesempatan untuk menyampaikan aspirasinya. Tertanggal 2 Juni 2017, Ketua Gugus Tugas Advokasi Dapil Luar Negeri, Mohammad Al Arief, meminta Pansus untuk mempertimbangkan pembentukan dapil khusus luar negeri. Argumentasinya jelas, yakni jumlah warga negara Indonesia (WNI) di luar negeri cukup untuk membentuk satu dapil baru dan kebutuhan konstituen di luar negeri berbeda dengan konstituen di Dapil II Jakarta.

“Kami ingin saudara-saudara kami di luar negeri punya linkage yang selalu terjaga dengan proses politik di Indonesia. Jadi, Bapak Pimpinan Pansus RUU Pemilu, dengan sangat hormat,  kami ingin agar permintaan kami, adanya dapil luar negeri yang terpisah dari Dapil II DKI Jakarta, dipertimbangkan,” tegas Arief di Senayan, Jakarta Selatan.

Per 14 Juni 2017, ketika Ketua Pansus RUU Pemilu, Lukman Edy, mengetuk palu atas kesepakatan distribusi lima belas kursi tambahan. Kursi khusus dapil luar negeri tak dibicarakan. Konstituen di luar negeri yang memiliki hak untuk ikut serta dalam pemilu nasional tak akan memiliki dapil khusus selama beberapa tahun ke depan.

 

RUU Pemilu Tak Progresif

Kita tak bisa mengharapkan demokrasi, pemilu, dan pemerintahan yang inklusif bila regulasinya tak memuat pasal-pasal progresif. Kebanyakan aspirasi—sayangnya jutsru yang signifikan—kelompok perempuan ditolak, usulan kelompok disabilitas tak dimuat secara detil, dan kebutuhan dapil luar negeri tak dipenuhi.

Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo, mengkritik langkah Pansus dan Pemerintah yang memberikan lima belas kursi tambahan tetapi tidak mengindahkan usulan dapil khusus luar negeri. Ia mengatakan dalam siaran pers yang saya terima (14/6): “Sejak pemilih luar negeri dimasukkan dalam Dapil II DKI Jakarta, tidak pernah ada anggota parlemen yang terpilih yang benar-benar memperjuangkan aspirasi buruh migran dan diaspora Indonesia. Pansus harus berani mengalokasikan kursi untuk dapil luar negeri yang terpisah dari Dapil II DKI.”

Gufroni Sakaril, ketika saya tanya melalui whatsapp, ia mengatakan bahwa sebenarnya pihaknya kecewa atas tak dimasukkannya usulan 10 persen kuota untuk kelompok disabilitas di daftar calon. Namun, Gufron menghargai munculnya Pasal 5 di RUU Pemilu dan berharap Komisi Pemilihan Umum (KPU) menerjemahkan pasal itu ke dalam Peraturan PKPU, guna memperjelas ketentuan afirmasi untuk kelompok disabilitas.

Koordinator Ansipol, Yuda Irlang, juga Staf Pokja Reformasi Kebijakan Publik KPI, Dewi Komalasari, juga mengutarakan kekecewaan. Menurut mereka, Pansus yang mayoritas laki-laki belum memahami pentingnya peran regulasi dalam konteks afirmasi politik perempuan. Bahkan, Pansus dinilai sejak awal memang tak menaruh perhatian pada afirmasi perempuan.

“Melihat kegagalan advokasi kali ini sungguh sangat tidak sederhana. Partai disibukkan merebut kekuasaan. Kaderisasi, khususnya perempuan, ketinggalan,” tegas Yuda (15/6).

Kekecewaan berbagai pihak menjadi ironi di tengah harapan publik akan hadirnya keadilan kesempatan dalam berpolitik. Mana yang kita sebut dengan politik akses? Politik akses tak tercermin dari kalimat “Semua kelompok, disabilitas, perempuan, warga negara semua boleh jadi presiden, boleh jadi wakil presiden. Sudah kita masukkan semuanya di pasal lima,” yang dilontarkan oleh Lukman Edy di Senayan, Jakarta Selatan (15/6).

Marginalisasi dalam dunia politik belum bisa didobrak.