Undang-Undang (UU) No.1/2024 Tentang Perubahan Kedua atas UU No.11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dinilai masih mengandung enam pasal bermasalah. Enam pasal tersebut dipandang dapat mempersempit ruang kebebasan berpendapat dan berekspresi di ruang digital. Padahal, merujuk indeks Freedom in the World 2023, kebebasan internet di Indonesia berada di urutan ke-58 dari 100 negara.
Pasal 27 ayat (1) yang mengatur norma kesusilaan menjadi pasal pertama yang bermasalah. Meskipun revisi UU ITE telah memuat pengecualian, namun rumusan definisi melanggar kesusilaan masih diperdebatkan. Penjelasan Pasal 27 ayat (1) UU No.1/2024 mendefinisikannya sebagai melakukan perbuatan mempertunjukkan ketelanjangan, alat kelamin, dan aktivitas seksual yang bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat di tempat dan waktu perbuatan tersebut dilakukan.
“Pasal ini biasanya menjerat korban kekerasan seksual. Nah, meskipun revisinya sudah ada pengecualian, tetapi rumusan kesusilaan masih menjadi perdebatan,” kata peneliti Safenet, Balqis Zakkiyah, pada diskusi “Dari Kriminalisasi hingga Moderasi, Catatan Implementasi Revisi Kedua UU ITE pada Kebebasan Berekspresi dan Pemilihan Umum 2024”, Jumat (26/7).
Pasal kedua yang bermasalah yakni Pasal 27A mengenai pencemaran nama baik. Walaupun sudah ada pengecualian, namun Safenet menilai pencemaran nama baik idealnya ditempatkan dalam ranah perdata. Pada kasus-kasus pencemaran nama baik, pihak yang bersengketa merupakan individu melawan individu.
“Meskipun tetap harus ada catatan, meski dipindah ke ranah perdata, jangan sampai dijadikan alat untuk intimidasi,” tandas Balqis.
Selanjutnya, Pasal 28 ayat (3) mengenai penyebaran informasi bohong. Pasal ini muncul kembali dalam revisi UU ITE, padahal faktanya telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan No.78/PUU-XXI/2023.
“Kemarin sudah di-judicial review oleh Fatia-Harris, sudah dinyatakan inkonstitusional, tetapi digunakan lagi di revisi UU ITE. Pasal ini banyak sekali digunakan oleh orang-orang yang merasa dirugikan, padahal kita tidak tahu aspek kerugiannya itu seperti apa,” ujar Balqis.
Pasal 32 juga dinilai bermasalah. Pasal ini akan memidana setiap orang yang terbukti dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik.
“Jadi, kasus-kasus perselingkuhan misalnya, ada yang dikenakan Pasal 32. Bahkan, ini juga digunakan di pemilu,” pungkasnya.
Pasal kelima yang dipandang bermasalah ialah Pasal 40 ayat (2) mengenai kuasa negara dalam moderasi konten. Pasal UU ITE No. 19/2016 atau revisi pertama UU ITE, regulasi tidak menyebutkan secara spesifik terkait konten, namun hanya “pemutusan akses internet”. Pasal ini juga tidak memuat kewajiban bagi negara untuk memoderasi konten secara proporsional dan transparan.
“Masih ada catatan terkait moderasi konten yang harusnya dilakukan secara proporsional dan transparan, tetapi di pasal ini terlihat, negara punya kewenangan untuk menentukan mana konten bermasalah, mana yang tidak,” tutur Balqis.
Sejak UU ITE berlaku pada 2008 melalui UU No.11/2008, undang-undang ini telah digugat sebanyak lima belas kali ke MK. Pasal-pasal yang digugat yakni pasal pencemaran nama baik, ujaran kebencian, penyadapan, ketentuan umum, alat bukti elektronik, alat bukti lainnya, ancaman, dan penyebaran informasi orang lain. []