August 8, 2024

Safenet: Dewan Media Sosial Harus Jadi Lembaga Mandiri

Selasa (28/5), Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi menyatakan bahwa pihaknya tengah mempersiapkan pembentukan dewan media sosial (DMS). Menurut Budi, dewan ini akan berfungsi untuk menyelesaikan sengketa yang ada di media sosial layaknya dewan pers. Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) menilai bahwa pembahasan seputar DMS harus dilakukan secara berhati-hati.

“Sebenarnya, dilemparkannya kembali gagasan ini setelah revisi UU ITE membuat ide pembentukan DMS saat ini sudah kehilangan konteks. SAFEnet sendiri, kami sudah mengusulkan pembentukan DMS ke Kominfo tahun lalu, saat proses pembahasan revisi kedua UU ITE,” ujar Direktur Eksekutif Safenet, Nenden Sekar Arum, sebagaimana termuat di dalam rilis pers yang diterima rumahpemilu.org (1/6).

Pada usulan awal, SAFEnet merekomendasikan agar DMS dibentuk sebagai lembaga independen baru yang berisi berbagai pemangku kepentingan, yang berfungsi menggantikan peran Kominfo dalam melakukan moderasi konten. Selama ini, wewenang Kominfo sebagai representasi pemerintah sangat besar dalam memoderasi konten.

Pembentukan DMS diusulkan oleh SAFEnet untuk masuk ke dalam substansi revisi kedua UU ITE. Secara spesifik, SAFEnet mengusulkan penambahan pasal 40 ayat 2(c) dengan bunyi sebagai berikut.

“….Pemerintah berwenang memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan moderasi konten terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut yang berkategori konten berbahaya atas dasar rekomendasi dari Dewan Media Sosial.”

Namun faktanya, hingga revisi kedua UU ITE disahkan menjadi UU No. 1 Tahun 2024, pasal-pasal tersebut tidak diakomodir baik oleh Kominfo maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Wewenang moderasi konten sepenuhnya berada di tangan Kominfo sebagai representasi negara.

Apabila DMS kemudian akan dibentuk oleh Kominfo, SAFEnet meminta agar lembaga tersebut mengadopsi prinsip independensi dan multistakeholderisme. DMS diharapkan menjadi lembaga yang independen, terbebas dari pengaruh pemerintah dan perusahaan media sosial.

“Kontrol Kominfo atas DMS akan menimbulkan penyensoran dan memperparah kerusakan demokrasi dan kebebasan sipil di ruang digital. Dan kalau tetap di bawah Kominfo, ada potensi konflik kepentingan yang sangat besar, sehingga nantinya DMS bisa dimanfaatkan sebagai alat represi digital yang baru. Nah, ini justru akan melemahkan posisi masyarakat sipil dan membawa kemunduran bagi demokrasi digital,” tegas Nenden.

Selanjutnya, Nenden menjelaskan bahwa usulan pembentukan DMS berangkat dari semangat untuk memperkuat keselamatan dan keamanan publik di ruang digital, dengan melibatkan banyak pemangku kepentingan, guna menghindari kontrol absolut pemerintah atas moderasi konten. Dengan demikian, DMS harus diisi oleh perwakilan berbagai pihak, seperti akademisi, pembuat konten, masyarakat sipil, pekerja kreatif, jurnalis, kelompok rentan dan minoritas serta berbagai pihak lainnya.

SAFEnet juga mengingatkan agar DMS tak melakukan pengawasan terhadap ruang digital. Praktik surveillance atau pengawasan tidak dapat dibenarkan karena dapat memicu swasensor oleh perusahaan maupun pengguna media sosial. Oleh karena itu, DMS hanya boleh memutuskan sengketa antara pengguna dengan perusahaan media sosial atas kerugian-kerugian yang dialami pengguna.

“DMS hanya boleh menilai dan mengawasi aduan terhadap praktik moderasi konten yang dilakukan oleh perusahaan media sosial, bukan melakukan pemantauan dan pengawasan aktif. Semua penilaian ini harus dilakukan dengan menggunakan standar-standar HAM internasional dan memperhatikan konteks lokal sebagai tolok ukurnya,” pungkas Nenden.

SAFEnet mendesak Kominfo untuk meninjau ulang rencana pembentukan DMS yang berkedudukan di bawah badan eksekutif. Pelibatan organisasi masyarakat sipil yang bergerak di bidang HAM dalam proses perencanaan pendirian DMS juga dipandang sebagai sesuatu yang urgen. []